KOMPAS: Butuh Aksi Radikal Antisipasi Bencana

KOMPAS, Kamis, 23 November 2017

IPTEK, LINGKUNGAN & KESEHATAN

Reporter: AIK

 

JAKARTA, KOMPAS — Peringatan belasan ribu ilmuwan dunia tentang merosotnya daya dukung lingkungan secara global perlu disikapi serius. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan mayoritas penduduknya berada di pesisir berpeluang mengalami dampak signifikan, tetapi juga bisa menjadi bagian dari solusi masalah ini. ”Peringatan ilmuwan dunia tentang terjadinya krisis ekologi global ini harus jadi perhatian serius. Apalagi dampaknya sebagian sudah hadir dan perlu respons segera,” kata Widodo Pranowo, Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Rabu (22/11). Sebelumnya, 15.364 ilmuwan dari 184 negara mengeluarkan peringatan bersama tentang krisis ekologi global yang bisa berdampak serius bagi kehidupan di bumi. Krisis ekologi itu antara lain penipisan ozon, berkurangnya ketersediaan air tawar, meluasnya zona laut mati karena penipisan oksigen, deforestasi, berkurangnya biodiversitas, dan perubahan iklim dipicu pemanasan global (Kompas, 22/11). Menurut Widodo, kenaikan suhu global akan berdampak pada seluruh organisme yang hidup di bumi. ”Jumlah penduduk terus bertambah, sementara ketersediaan pangan merosot karena daya dukung lingkungan melemah. Di sektor perikanan, ini makin jelas terlihat,” ujarnya. Meski sebagian besar perairan di Indonesia sehat, di beberapa kota besar pesisir kondisi oksigen terlarutnya mengkhawatirkan. ”Ini bisa mengarah pada terjadinya zona laut mati, seperti di Teluk Meksiko,” kata Widodo.

Tanggung jawab bersama
Koordinator Bidang Kajian Strategis Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Alan Koropitan mengatakan, krisis ekologi global menuntut tanggung jawab bersama dengan negara-negara lain. Namun, ada soal nasional dan lokal yang harus kita sikapi sendiri. Beberapa masalah global itu, lanjut Alan, termasuk besarnya emisi karbon dioksida (CO2) yang memicu pemanasan global. Selain menaikkan suhu atmosfer dan perairan laut, emisi CO2 berlebih memicu keasaman laut. ”Yang sudah merasakan langsung hal ini di bagian timur Pasifik, seperti Peru dan Cile, di mana budidaya kerang mereka terdampak serius. Keasaman laut menyebabkan cangkang kerang terkikis,” ucapnya. Untuk Indonesia, dampak yang harus diwaspadai ialah pemutihan terumbu karang. Tahun 2016 jadi kematian terumbu karang terburuk dalam sejarah Great Barrier Reef, Australia. Di Indonesia, itu terjadi di perairan selatan sampai Wakatobi. Selain itu, perubahan iklim global ini diduga memicu penurunan klorofil A, bagian dari fitoplankton, di perairan luar Indonesia, misalnya Samudra Hindia dan Laut Sulawesi. Penurunan klorofil A berdampak pada migrasi ikan-ikan besar menjauh dari zona tangkap nelayan. Widodo memaparkan, posisi kapal-kapal tuna yang umumnya ada di sekitar area Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di selatan Jawa sebelumnya banyak beroperasi di Lintang Selatan 11-12. Dari tahun ke tahun, area operasi bergeser ke Lintang Selatan 15-20. Untuk agenda lokal dan nasional, yang harus dilakukan ialah mengatasi pencemaran ke perairan akibat ulah manusia. ”Perlu Indeks Eutrofikasi Pesisir untuk mengetahui tingkat pencemaran air,” kata Alan.