MONGABAY INDONESIA: Ternyata Teluk Balikpapan Sudah Sering Tercemar Minyak. Kok Bisa?

MONGABAY INDONESIA Situs Berita Lingkungan | Laut | Reporter: Jay Fajar

Insiden pencemaran minyak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, akibat kebocoran pipa milik Pertamina Refinery Unit V Balikpapan di perairan Lawe-lawe Penajam Paser Utara (PPU) sudah memasuki hari ke-9 sejak awal terjadinya pada hari Sabtu (31/3/2018).

Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo Pranowo menjelaskan sampai hari Kamis (5/4/2018) tumpahan minyak telah menyebar seluas 20.000 hektar atau 200 kilometer persegi.

Sebelumnya, dari Laporan Tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu (4/4/2018) menyebutkan dari hasil analisis citra satelit Landsat 8 dan Radar Sentinel 1A tanggal 1 April 2018 oleh LAPAN, diestimasi total luasan tumpahan minyak di perairan Teluk Balikpapan seluas 12.987,2 ha.

Tumpahan minyak seluas 20.000 hektare tersebut, kata Widodo yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Sabtu (7/4/2018), dihasilkan dari analisa data satelit radar Cosmo Sky Med dan Sentinel 1a pada tanggal 1, 2 dan 5 April 2018.

“Tumpahan minyak itu menyebar karena gelombang arus laut, pasang surut dan pengenceran minyak. Meluasnya tumpahan minyak itu terjadi karena dua hal yaitu apakah sumber kebocoran minyak sudah ditutup atau belum, dan minyak yang tumpah ke perairan akan terencerkan karena tercampur air laut. Karena minyak semakin encer maka mudah tertransportasikan oleh arus,” jelasnya.

Widodo menjelaskan bila minyak masuk perairan akan terencerkan karena sifatnya hidrofilik atau mudah tercampur dengan air dan berubah menjadi PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbons). PAH merupakan kelompok pencemar organik persisten (POP) khas yang senyawa bersifat toksik dan karsinogenik (menyebabkan kanker).

Dengan sifatnya yang toksik dan karsinogenik, PAH minyak ini berbahaya bagi makhluk hidup biota laut. “PAH ini akan berbahaya bagi organisme karena faktor akumulasi. Walaupun sedikit, mungkin tidak menyebabkan kematian langsung pada ikan, akan tetapi efek akumulatifnya akan berbahaya,” jelas Peneliti Madya Bidang Osenaografi Terapan itu.

Widodo menambahkan pihaknya saat ini sedang melakukan permodelan lebih lanjut dengan menambahkan informasi yang sedang dikumpulkan tentang biota laut, terumbu karang, mangrove dan status konservasi kawasan Teluk Balikpapan. “Tentang aktivitas perikanan, pihak Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, sedang turun ke lapangan untuk menghitung economic lost dari tumpahan minyak itu,” jelasnya.

Sering Terjadi

Sebenarnya, pencemaran tumpahan minyak sudah sering terjadi di Teluk Balikpapan dan KKP telah memantau sejak tahun 2014 melalui analisa data satelit. “Hasil pengamatan kami di daerah Teluk Balikpapan, dari 2014-2017 sudah sering kali terjadi pencemaran minyak,” kata Widodo.

Sebaran dan frekuensi tumpahan minyak yang terjadi di WPPNRI 713 cenderung di sekitar perairan pesisir timur Kalimantan, terutama di sekitar Balikpapan dan Delta Mahakam.

Dari data analisa yang dilakukan KKP tersebut, pada November 2014 terdapat lima area tumpahan minyak dengan luas 0,4 km2; 0,3 km2; 0,09 km2; 0,22 km2 dan 0,27 km2.

Sedangkan pada Januari 2015 terdapat 11 area tumpahan minyak seluas 5,7 km2; 1,1 km2; 1 km2; 0,2 km2 ; 0,9 km2 ; 0,2 km2 ; 0,1 km2; 0,8 km2 ; 0,27 km2 ; 0,19 km2 dan 0,3 km2. Pada Maret 2015, terdapat 2 area tumpahan minyak seluas 0,8 km2 dan 0,3 km2. Pada April 2015, terdapat tiga area tumpahan minyak seluas 0,6 km2 dan 0,3 km2, dan 0,15 km2

Meskipun terdeteksi adanya area tumpahan minyak, Widodo mengakui pihaknya tidak bisa memverifikasi apakah tumpahan minyak tersebut merupakan oil spill atau oil slick, karena tidak turun melakukan pengecekan ke lapangan disebabkan keterbatasan anggaran.

Pembersihan

Region Manager Communication & CSR Pertamina wilayah Kalimantan, Yudy Nugraha yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Sabtu (7/4/2018) mengatakan pihaknya terus melakukan pembersihan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan.

Pertamina sendiri menurunkan sebanyak 21 kapal beserta 234 orang tim dengan berbagai kompetensi dalam melakukan pembersihan ceceran minyak pada Jumat (6/4/2018). Sebelumnya, Pertamina menurunkan 15 kapal untuk membersihkan Teluk Balikpapan.

Pembersihan juga diperluas dan sampai ke Kawasan Mangrove Karianggau dengan cara manual. Pertamina juga melakukan pembersihan di pesisir Kabupaten Penajam, dengan menyemprot oil spill dispersant dan pembersihan manual. Pertamina dibantu BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) dan penduduk setempat.

Sebelumnya, dari Laporan Tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu (4/4/2018) menyebutkan dari hasil analisis citra satelit Landsat 8 dan Radar Sentinel 1A tanggal 1 April 2018 oleh LAPAN, diestimasi total luasan tumpahan minyak di perairan Teluk Balikpapan seluas 12.987,2 ha.

Sedangkan luasan area terdampak akibat tumpahan minyak diperkirakan mencapai ± 7.000 ha dengan panjang pantai terdampak disisi Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara mencapai ± 60 km.

Tim KLHK menemukan ekosistem terdampak berupa tanaman mangrove ± 34 Ha di Kelurahan Kariangau RT 01 dan RT 02, 6.000 tanaman mangrove di Kampung Atas Air Margasari, 2.000 bibit mangrove warga Kampung Atas Air Margasari dan biota laut jenis kepiting mati di Pantai Banua Patra.

Kepala satuan kerja Balikpapan BPSPL Pontianak, Ricky yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Kamis (5/4/2018) mengatakan kawasan mangrove dari Tomber ke Kaliangu memang sudah terpapar oleh minyak. Teluk Balikpapan sendiri memang dikelilingi oleh hutan mangrove.

Merusak Biota Laut

Peneliti IPB bidang kimia oseanografi dan marine polution, Tri partono yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Jumat (6/4/2018) mengatakan penanganan memang harus segera dilakukan sesaat setelah minyak tumpah agar tidak menyebar ke perairan. Karena tumpahan minyak akan merusak biota laut di perairan.

Tri menjelaskan bila tumpah ke perairan, minyak akan mengalami proses berupa emulsifikasi, teroksidasi oleh sinar matahari, terdekomposisi, menguap dan ada yang mengendap ke dasar perairan. Hal tersebut sangat tergantung pada jenis minyaknya, apakah minyak ringan atau minyak berat.

“Apabila proporsi jenisnya minyak ringan, maka sebagian besar minyaknya akan menguap. Kalau jenis minyaknya berat, maka akan sedikit menguap,” jelasnya.

Tumpahan minyak tersebut akan berpengaruh kepada organisme laut. “Minyak banyak komponennya, seperti fraksi ringan, fraksi aromatik, dan fraksi aspaltin. Semua itu akan memberikan dampak toksik kepada organisme laut, termasuk plankton yang merupakan makanan ikan. Kalau minyak berat, bisa menempel ke insang ikan, ikan tidak bisa bernapas sehingga mati,” jelas Tri.

Untuk satwa laut seperti dugong atau pesut, bisa bermigrasi ke wilayah perairan lain. “Tetapi bila sudah terjebak akan bisa mati karena minyak bisa masuk lewat intestine, melalui mulut dan lubang pernapasan,” katanya.

Plankton juga akan mati terkena minyak. Sementara padang lamun, terumbu karang dan mangrove juga lama kelamaan akan mati. “Bila minyak telah menempel di batang dan akar mangrove, termasuk di terumbu karang, akan sulit sekali dibersihkan,” jelasnya.

Manusia juga akan terdampak yaitu akan merasa mual dan pusing bila menghirup uap minyak tersebut.

Pesut Mati

Sampai hari Kamis (5/4/2018), ada dua ekor pesut yang mati karena pencemaran minyak di Teluk Balikpapan.

Peneliti pesut dari Yayasan Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb mengatakan dia mendapatkan informasi bahwa seekor pesut yang mati di belakang Hotel Bintang telah dinekropsi dengan kondisi adanya cairan hitam dalam tubuh, dengan badan dan kulit yang sangat hitam. “Informasinya badan dan kulit sangat hitam. Itu tidak normal. Jelas terpapar penuh minyak. Tapi saat nekropsi kulit terkelupas, mungkin korban kebakaran,” katanya Danielle yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Kamis (5/4/2018).

Dalam pemantauan lapangan di lokasi tumpahan minyak, Danielle juga sempat melihat adanya ikan, belut laut dan cumi-cumi yang mati mengambang.

Dia mengatakan Tim Yayasan RASI juga sempat melihat sekelompok pesut yang berenang di bagian lebih hulu Teluk Balikpapan, diatas garis pasang surut. “Kondisi mereka masih terlihat normal dan kemarin terlihat bermain-bermain. Semoga mereka bertahan di hulu teluk dan tidak coba ke hilir,” katanya.

Tim RASI juga sempat melihat dua kelompok pesut yang terdiri dari 10 ekor di hulu Pulau Balang. “Gerakan mereka normal, karena tidak terpapar minyak. Semoga mereka kuat bertahan,” katanya.

Pesut, jelasnya, merupakan mamalia laut penghuni tetap Teluk Balikpapan. Mereka mempunyai pola migrasi dari hulu ke hilir dan sebaliknya.

Meski habitatnya tercemar, Danielle mengatakan mereka tidak bisa menangkap dan merelokasi pesut. “Kami tidak bisa menangkap satwa itu. Hanya kalau mereka lemas, kami bertindak. Kami berharap tumpahan minyak tidak tersebar sampai ke hulu Teluk Balikpapan,” katanya.

Danielle memperkirakan sebelumnya, jumlah pesut di Teluk Balikpapan berkisar 48 hingga 69 individu, dengan maksimal 79 individu. Selain dugong, Danielle menjelaskan di Teluk Balikpapan terdapat penyu, porpoise tanpa sirip belakang, dan lumba-lumba hidung botol indopasifik.

Danielle menambahkan penggunaan oil dispersant tidak dianjurkan digunakan untuk menangani tumpahan minyak di teluk. Karena dalam literatur yang dia baca, dispersant disebut tidak boleh digunakan di muara, teluk, daerah dekat pantai dan perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 10m.

“Oil dispersant hanya bisa digunakan 1-2 jam setelah kejadian dan hanya di perairan offshore untuk mencegah pantai tercemar. Karena dispersant menggelamkan minyak sehingga biota air malah kena dampak termasuk ikan dan pesut, dan sebagainya,” katanya.

Sedangkan Dwi Suprapti, Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia mengatakan adanya dugong dan penyu di Teluk Balikpapan karena adanya padang lamun yang merupakan pakan mereka. Untuk pesut laut sendiri berstatus terancam punah (endangered) dan pesut mahakam berstatus kritis (criticaly endangered).

Pencemaran minyak di perairan akan sangat berpengaruh terhadap pesut tersebut. “Yang paling utama atau akut/cepat, minyak bisa menyebabkan keracunan. Karena pesut hidup dalam air, minyak masuk ke dalam tubuh, akan terakumulasi di dalam saluran pencernaan dan terserap ke darah, akan terjadi keracunan berat dan bisa menyebabkan kematian. Juga mengganggu pernapasan. Tapi lebih utama, minyak menyebabkan kematian itu keracunan karena pasti minyak terabsorbsi dalam tubuh pesut,” jelasnya.

Disadur dari Sumber Berita Aslinya: MONGABAY INDONESIA