KOMPAS Cetak: Mengenal Laut Bali, Rumah Terakhir KRI Nanggala-402

Widodo Pranowo sebagai narasumber diwawancarai oleh Wartawan Senior KOMPAS Ahmad Arif dan Editor Berita Evy Rachmawati.

KOMPAS, 27 April 2021, 07.13 WIB, ILMU PENGETAHUAN & TEKNOLOGI/ GEODINAMIKA, AHMAD ARIF. Jika Anda bisa menyusuri dasar laut dari utara Jawa, begitu tiba di utara Bali maka tiba-tiba akan jatuh ke mangkuk raksasa yang sangat dalam. Di laut purba utara Pulau Bali inilah rumah terakhir KRI Nanggala-402.

Laut Jawa rata-rata berkedalaman 20 hingga 40 meter, tetapi Laut Bali memiliki kedalaman hingga lebih dari 1.000 meter dan makin ke timur kian dalam. Laut di utara Pulau Bali memang bukan laut terdalam di Indonesia, melainkan memiliki pusaran arus sangat kencang dan kompleks. Di bawah laut ini pula, terdapat jalur sesar naik yang amat aktif, memanjang dari utara Pulau Flores hingga utara Bali.

”Kondisi dasar Laut Bali berbentuk basin atau seperti mangkuk dengan arus berubah-ubah di tiap kedalamannya. Pada kedalaman lebih dari 1.000 meter, Laut Bali terhubung dengan dasar Selat Lombok dan Laut Flores yang memiliki arus sangat deras,” kata peneliti bidang oseanografi Pusat Riset Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Widodo S Pranowo.

Mangkuk raksasa dengan kemiringan terjal ini, menurut Widodo, berbatasan dengan Pulau Bali dan Selat Lombok di sisi selatan. Pada sisi timur berbatasan dengan Laut Flores.

Di sisi utara, Laut Bali berbatasan dengan Kepulauan Kangean dan kanal yang menyambung dengan Kanal Labani di Selat Makassar. Sementara di sisi barat, laut ini berbatasan dengan Selat Madura dan Pulau Jawa, yang di masa purba merupakan tepian dari Paparan Sunda, yaitu daratan besar yang menyatukan Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera dengan Eurasia.

Jika Laut Jawa dan perairan timur Sumatera baru terbentuk setelah berakhirnya zaman es–yaitu ketika pemanasan global melelehkan es di Bumi dan menimbulkan kenaikan muka air laut hingga sekitar 12.000 hingga 6.000 tahun yang lalu, Laut Bali sudah berupa laut sejak purba.

“Kondisi dasar Laut Bali berbentuk basin atau seperti mangkuk dengan arus berubah-ubah di tiap kedalamannya.”

Laut Bali, yang masuk dalam Ekoregion Laut ke-9 dari 11 ekoregion laut yang ada di Indonesia. Wilayah ini meliputi perairan Bali dan Nusa Tenggara, yang menurut geolog Robert Hall (2001) telah terbentuk sebelum 15 juta hingga 5 juta tahun silam. Ekoregion laut ini merupakan bagian dari zona Wallacea, yang dikenal memiliki kekayan hayati endemis tertinggi di Nusantara.

Selain cekungan Bali, ekoregion ini juga memiliki lima cekungan lain, yaitu Cekungan Flores, Cekungan Lombok, Cekungan Sumba, Cekungan Sawu, dan Cekungan yang memiliki titik terdalam hingga 7.247 meter.

Bagi para geolog, perairan yang mengelilingi kumpulan pulau-pulau dari Bali hingga Nusa Tenggara ini merupakan zona tektonik sangat aktif. Di sebelah selatan kepulauan ini, terdapat zona pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia, yang membuat pesisir selatan Bali hingga Nusa Tenggara rentan terdampak gempa dan tsunami.

Sebagai contoh, pada 19 Agustus 1977 siang, gempa besar mengguncang bawah laut Samudra Hindia di barat daya Pulau Sumba yang menimbulkan tsunami besar menghantam pesisir selatan Sumba, Sumbawa, Lombok, sampai selatan Bali.

Namun lempeng Indo-Australia ini ternyata menyusup terlalu curam ke bawah Lempeng Eurasia di kawasan tersebut sehingga memicu patahan di busur belakang (back-arc) utara Pulau Flores hingga Bali. Hal itu menyebabkan Pulau Bali, Lombok, dan Flores dikepung ancaman tsunami dari laut selatan dan utara.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, jalur sesar naik ini utara Flores, Lombok hingga utara Bali sangat aktif. Di antaranya, pernah memicu gempa M 7,5 diikuti tsunami pada tahun 1992 yang menewaskan 2.500 orang. Pusat gempa saat itu berada 35 km dari kota Maumere.

”Keberadaan jalur sesar ini pula yang pernah memicu gempa bumi serta tsunami yang melanda utara Bali pada 12 November 1815 dan 14 Juli 1976,” kata Daryono.

Bencana yang melanda utara Bali pada 1815 terekam dalam Babad Buleleng dan Babad Ratu Panji Sakti. Dalam dua babad ini disebutkan, banyak orang dan keluarga kerajaan tewas terkena banjir longsor pada tahun Saka 1737 atau 1815 Masehi.

Catatan lebih lengkap yang disimpan di Puri Ayodya, Singaraja, seperti dituturkan I Made Kris Adi Astra, analis dari BMKG Wilayah 2 Denpasar, ”Pada hari Rabu umanis kurantil tahun Saka 1737 (22 November 1815), gempa bumi besar mengguncang”.

Getaran gempa bumi mengakibatkan pegunungan retak longsor dengan suara menggelegar seperti guntur. Longsoran pegunungan lantas menimpa ibu kota Buleleng, Singaraja. Desa-desa tersapu ke laut. Bencana ini menewaskan 10.523 orang. Banyak pejabat penting kerajaan turut menjadi korban, tetapi Raja Buleleng I Goesti Angloerah Gde Karang selamat.

Catatan lebih rinci lagi disebutkan Arthur Wichman (1918) saat menyusun katalog gempa bumi di Kepulauan Indonesia periode 1538-1877. Disebutkan, gempa itu terjadi pada 22 November 1815 sekitar pukul 10 malam.

Pusaran arus

Selain kondisi geologisnya yang kompleks memicu kerentanan gempa dan tsunami, posisi geografis Bali dan Nusa Tenggara menjadi faktor yang mempengaruhi arus laut di perairan ini. Widodo mengatakan, kondisi arus di permukaan dan kedalaman Laut Bali, misalnya, bisa amat berbeda. Bahkan, di tiap kedalaman bisa berbeda-beda.

Arus di lapisan permukaan laut dipengaruhi oleh pergerakan angin monsun barat dan timur. Namun pada kedalaman tertentu lebih dipengaruhi aliran Arus Lintas Indonesia atau Arlindo, yakni aliran massa air dari Samudra Pasifik menuju Samudera Hindia, melalui Selat Lombok.

Menurut Widodo, pengukuran yang dilakukan tim KKP dan sejumlah peneliti internasional pada 2003-2011 menemukan debit Arlindo yang mengalir melewati Kanal Labani di Selat Makassar mencapai 11,6 juta meter kubik per detik, kemudian yang mengalir melewati Selat Lombok diestimasi sekitar 2,6 juta meter kubik per detik.

Selain itu, pada arah sebaliknya aliran internal wave atau gelombang panjang di bawah permukaan laut dari arah Samudra Hindia menuju utara. Pada tahun 2005, Widodo bersama tim peneliti menyusuri peraian ini menggunakan Kapal Baruna Jaya untuk meneliti pola arus bawah laut. Ditemukan arus bawah laut di perairan sekitar Selat Lombok bisa berbeda arah berdasarkan kedalamannya.

Kajian yang ditulis Yogo Pratomo dari Sekolah Tinggi Angkatan Laut bersama Widodo dan tim di jurnal Omni Akuatika (2017) menyebutkan, di Selat Lombok di kedalaman 100 meter terdapat arus laut menuju ke selatan. Namun, di kedalaman 250 meter, arus ada yang menuju utara walaupun tidak signifikan.

Sebaliknya pada kedalaman 350 meter arus yang menuju utara menguat, sedangkan arus ke selatan berkurang kekuatannya. Di kedalaman 450 meter arus ke utara lebih menguat lagi. Menurut Widodo, arus yang ke utara itu adalah dibangkitkan internal wave. Adapun arus yang menuju ke selatan merupakan representasi dari Arlindo.

”Pola arus laut ini membuat pergerakan di bawah Laut Bali memang sangat kompleks,” katanya.

Pada kondisi arus pada kedalaman sekitar 200 meter seperti yang terjadi pada 22 April 2021, terdapat arus menuju ke utara dari Selat Lombok yang merupakan terusan dari Samudra Hindia. ”Arus tersebut kemudian terbelah menjadi dua arah, berbelok ke barat dan ke timur ketika menabrak dinding basin Laut Bali bagian utara,” kata Widodo.

Arus dari Selat Lombok yang berbelok ke barat kemudian bergerak mengikuti dinding basin Laut Bali yang berbentuk seperti wadah mangkuk sehingga arus berpusar arahnya melawan jarum jam. Sementara arus dari Selat Lombok yang berbelok ke timur, lalu berpusar dengan arahnya sesuai putaran jarum jam.

Berikutnya, pada 25 April 2021, menurut Widodo, kondisi arus pada kedalaman 110 m di Laut Bali dominan datang dari arah Kanal Labani, Selat Makassar, karena dipengaruhi Arlindo. Arus ini sebagian berpusar di Laut Bali, dan sebagian besar mengalir menuju Samudra Hindia melewati Selat Lombok.

Entah apa yang terjadi dengan KRI Nanggala-402. Namun, kapal selam itu telah terkubur dengan tenang di bawah kedalaman Laut Bali yang bergejolak.

Editor KOMPAS: EVY RACHMAWATI.