BALI POST: Reklamasi Teluk Benoa Harus Distop Kalau Tidak Bali Hancur

Bali Post Cetak, Rabu Umanis, 2 November 2016. Judul di Edisi Cetak: "Jangan Samakan Dengan Dubai".
Bali Post Cetak, Rabu Umanis, 2 November 2016. Judul di Edisi Cetak: “Jangan Samakan Dengan Dubai”.

DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana reklamasi Teluk Benoa harus dihentikan sebelum terlambat. Terlebih, belum dilakukan reklamasi saja sudah terjadi ribut-ribut dan konflik horizontal yang bisa berujung pada perpecahan. Selain itu, reklamasi bukanlah solusi yang tepat untuk membersihkan Teluk Benoa dari sampah dan sedimentasi. Sebaliknya, reklamasi justru berpotensi menimbulkan sedimentasi yang semakin parah bahkan sampai bisa menutup aktivitas pelabuhan Benoa.

“Kalau air itu kotor, bukannya direklamasi tapi sumber polutannya yang harus dikendalikan. Kalau direklamasi, airnya kan semakin sedikit. Kalau airnya semakin sedikit, polutannya sama, konsentrasinya makin tinggi malah makin kotor,” ujar Ketua Kelompok Keahlian Teknik Pantai ITB, Muslim Muin Ph.D saat memberikan materi dalam Lokakarya Jurnalis Antikorupsi di Denpasar, Selasa (1/11). Muslim menambahkan, arus laut di mulut estuari juga akan melemah jika Teluk Benoa direklamasi. Akibatnya, sedimentasi di sepanjang pantai dari selatan sampai ke mulut Teluk Benoa tidak akan bisa disapu seperti sekarang tanpa reklamasi. Bisa ditebak, sedimentasi justru menjadi semakin parah bahkan bisa menutup mulut Teluk Benoa. “Kalau sudah begitu, Pelabuhan yang ada di Benoa itu harus pindah, tutup. Teluk Benoa tidak lagi menjadi estuari, tidal flushing akan hilang jadi airnya akan tawar. Kalau sudah air tawar, mangrove disana akan mati karena dia butuh air laut,” jelasnya. Dampak lain, lanjut Muslim, Bali juga akan kehilangan marine resources economic Teluk Benoa dan memperparah banjir. Kalau ada yang mengatakan reklamasi Teluk Benoa akan baik-baik saja seperti reklamasi di Dubai, menurutnya itu salah. Sebab, tidak ada aliran sungai yang masuk ke Palm Island di Dubai. Berbeda dengan Teluk Benoa yang merupakan muara dari lima daerah aliran sungai (DAS). “Tolong distop, tidak ada gunanya, Bali akan hancur. Kalau Bali hancur, Indonesia akan hancur juga,” tandasnya.

Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan, Widodo Setiyo Pranowo mengatakan, analisis Total Allowable Area for Coastal Reclamation harus dilakukan jika reklamasi memang harus dilakukan. Analisis TAACR merupakan kombinasi dari aspek teknik dan sosial ekonomi lingkungan.

Selain itu, analisis dampak sosial ekonomi budaya masyarakat juga perlu disajikan secara detail dan mendalam. “Analisis dampak sosial ekonomi budaya masyarakat ini sangat penting. Kalau belum reklamasi sudah ribut-ribut, terjadi konflik horizontal antar masyarakat sampai hampir menimbulkan perpecahan ya… mending distop. Baru rencana saja sudah distop, tidak usah diterusin daripada terjadi perpecahan,” ujarnya.

Widodo menambahkan, Teluk Benoa sangat rentan terhadap tsunami. Eksposur populasi di dalam kawasan Teluk Benoa sangat tinggi karena terjadi refraksi gelombang tsunami (gelombang terjebak) menyebabkan amplifikasi gelombang tsunami. Itu sebabnya, sangat tidak direkomendasikan untuk membuat pulau di Teluk Benoa. Apalagi untuk hunian, sangat tidak cocok. “Kita sengaja bikin pulau-pulau kecil untuk tempat tinggal orang, itu sama saja dengan membunuh orang. Sangat membahayakan,” jelasnya.

Menurut Widodo, area intertidal perairan Teluk Benoa saat surut memang tidak begitu indah. Namun justru pada saat itu, memberikan kesempatan bagi burung-burung bangau untuk berburu makanan yakni organism yang hidup di area itu. Diantaranya kerang, kepiting, udang, dan ikan kecil lainnya. Kawasan Teluk Benoa juga menjadi tempat singgah burung air untuk mencari makan. “Untuk mangrove, tidak serta merta kalau ingin survive harus ada air lautnya. Juga dibutuhkan pasang surut untuk memberi kesempatan akar mangrove bernafas,” imbuhnya. (Rindra Devita/balipost).

Sumber Berita: BaliPost