Berita dimuat di Koran Tempo 27 Mei 2004
Setelah 4 hari ekspedisi, akhirnya sesuatu yang berbau riset dilakukan. Selasa pagi (25/5), semua anggota tim ekspedisi Wallacea berkumpul. Ketua tim, Widodo Setiyo Pranowo, membagi-bagikan tugas penelitian. Widodo membagi sekitar 30 peneliti dalam 5 kelompok.
Tim pertama menuju pulau Kalaotoa. Tim ini terdiri dari ahli geologi dan geomorfologi. Selain meneliti, mereka menyerahkan dan menginstalasi radio satelit dan wartel satelit bertenaga surya di pulau tersebut. Tim kedua bergerak ke perairan pantai bagian selatan pulau Kalao. Untuk meriset ekosistem lamun (seagrass), mangrove (bakau), plankton, dan kualitas air. Tim ketiga menuju perairan pulau Teterang. Mereka ditugaskanuntuk mengambil contoh sponge (karang lunak), untuk keperluan farmakologi atau bahan pembuatan obat. Tim keempat tetap tinggal di Pulau Bonerate. Mereka melakukan penelitian geologi, sosial ekonomi, dan kesehatan. Terakhir, tim kelima, berada di kapal Phinisi Cinta Laut.
Tim yang dipimpin langsung oleh Widodo itu melakukan sejumlah penelitian. Tempo ikut Widodo. Gairah menyegarkan bau laut. Sejak pagi, dengan bersemangat tim Widodo melakukan pemeriksaan instrumen. Pekerjaan ini digarap oleh Eko Triarso, Ary Widyanto, dan Bagus Hendrayana. Kami bergerak mulai pukul 10.00 WITA. Pertama, melakukan pemeriksaan generator listrik. Kemudian pemeriksaan sistem navigasi. Semua beres, kecuali GPS. Alat penerima sinyal satelit GPS aktif menerima sinyal, tapi tidak bisa dimunculkan di monitor komputer–kondisi yang pernah kami alami ketika pertama kali bertolak dari Makassar, saat kapal Phinissi Cinta Laut dilepas Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri. Solusi terburuk untuk mengatasi kesulitan tersebut adalah menelepon Jakarta. “Teknisi di sana mungkin bisa saling crosscheck dengan apa yang kita lakukan,” kata Widodo. Belum ada kontak dari Jakarta, tim sudah bisa mengatasi kesulitan tadi. Rupanya cuma masalah konektor antara GPS-komputer yang tak bekerja baik.
Tuntas dengan urusan navigasi, tim melakukan pemeriksaan echosounder multibeam, alat untuk mengukur kedalaman laut. Beres. Setelah semua diperiksa, tim bergerak di sekitar perairan Bonerate, mencoba melakukan tracking batimetri kedalaman laut. Kapal pun berzigzag, hingga sensor bisa merekam data kedalaman di lintasan zigzag itu. Jika disatukan, seluruh manuver itu akan membentuk area persegi. Data yang diperoleh di sepanjang lintasan kemudian diinterpolasi. Maka, “Jadilah gambaran yang utuh dalam bentuk tiga dimensi,” kata Ary, ahli instrumentasi. Tim juga memeriksa side scan sonar. Fungsi alat ini untuk melihat profil dasar laut. “Kita coba sampai kedalaman 240 meter,” kata pakar Biogeokimia-Oseanografi, Eko Triarso.
“Wid, sini lihat,” Eko tiba-tiba berteriak memanggil Widodo. Rupanya, dia melihat bentuk aneh di layar monitor. “Kita melihat perubahan dasar laut yang cukup fenomenal,” kata Widodo. Fenomena pertama munculnya sejenis bukit di bawah teluk Bonerate. Kejutan kedua ada gambar di monitor yang menyerupai ular raksasa. Naga? Kata Widodo gambar ini masih belum bisa diinterpretasi. “Bentuknya lancip, menyerupai ekor yang panjang,” kata Eko. Dia tidak mau gegabah mengidentifikasi objek yang menarik ini. “Belum diidentifikasi,” katanya.
Semua yang dilakukan tim Widodo di Phinisi merupakan upaya menginventarisasi data laut di sekitar Bonerate. “Kita belum punya data batimetri yang detail untuk kawasan perairan Bonerate,” ujar Widodo. Selama ini, peneliti masih mengandalkan data dari Dinas Hidro Oseanografi TNI AL, “Dalam skala yang terlalu besar–1:250.000,” kata Widodo.
Selasa, pukul 16.00 WITA, pekerjaan di laut hari itu sudah tuntas. Tim segera mengambil peralatan snorkling. Penelitian? Bukan. Tim Widodo tergelitik untuk menjajal keindahan karang dan ikan-ikan laut di Teluk Bonerate. Kami pun bersnorkling hingga matahari terbenam. <bobby gunawan>