| DetikTravel News | Rabu, 10 April 2019 12:10 WIB | Bona |
Jakarta – Kasus pari dengan perut berisi sampah viral di Media Sosial. Hidup bermigrasi, rupanya pari memang rentan makan sampah. Seekor pari mati dan menjadi viral karena unggahan sebuah akun bernama @5MinuteBeachCleanUp. Dalam unggahannya, ada foto ikan pari yang sudah mati dan coba untuk dibelah. Ketika dibelah perutnya, pengguna Medsos dikagetkan dengan banyaknya sampah yang dimakan oleh pari ini. Bukan cuma botol plastik, ada bungkus rokok, buku sampai kamera.
Tak ada yang tahu di mana lokasi pari tersebut. Namun bagi Indonesia sendiri yang memiliki wisata pari manta, harusnya hal ini menjadi pukulan keras. Indonesia adalah negeri kepulauan yang indah. Dari Sabang sampai Merauke berjajarlah pulau-pulau yang memiliki banyak keindahan bawah laut dan keanekaragaman hayati salah satunya pari manta.
Indonesia memiliki sejumlah fenomena yang menjadi faktor dari persebaran di lautan. Sebut saja Arus Lintas Indonesia atau Arlindo. “Indonesian Through Flow atau Arus Lintas Indonesia yang merupakan aliran massa air dalam jumlah debit yang sangat besar mengalirkan massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melewati perairan Indonesia Timur,” ujar Dr Widodo Pranowo, Peneliti Madya Bidang Oseanografi pada Pusat Riset Kelautan KKP kepada detikcom, Selasa (9/4/2019).
Nah, Arlindo ini mempunyai probabilitas dalam mengangkut sampah plastik makro dan mikro di dalamnya. Sementara Arlindo ini pulalah yang dijadikan wahana migrasi oleh mamalia laut besar dan ikan besar lainnya seperti paus dan pari manta. “Sehingga probabilitas mereka memakan sampah plastik makro dan mikro selama migrasi juga tinggi. Bisa dibayangkan bila ikan-ikan pari manta ini berenang dan memakan sampah-sampah makro dan mikro plastik tersebut maka tidak heran akan menyebabkan kematian bagi ikan pari,” ungkap Widodo.
Untuk traveler yang belum tahu, pari manta merupakan ikan yang lebih suka berada di perairan yang mendekati pulau atau daratan. Sementara sampah makro akan lebih banyak dijumpai di perairan yang lebih dekat dengan daratan. Sehingga kemungkinan pari manta untuk memakan sampah makro seperti kamera dan buku menjadi lebih tinggi.
“Ini mengerikan. Sangat disayangkan, kalau pari mantanya pada mati maka obyek wisatanya hilang,” kata Widodo.
Berurusan dengan sampah tak akan jauh dari kasus pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut Widodo, pertumbuhan penduduk juga harus dikontrol. Karena semakin banyak penduduk, maka memerlukan ruang lebih banyak dan menghasilkan sampah yang lebih banyak lagi. “Semakin banyak sampah, maka memerlukan space dan teknologi yang tepat dan ramah lingkungan dalam mengolah sampah. Bila hal terebut tidak dipikirkan dan tidak dilakukan, maka sampah yang tidak terkelola akan samakin terbuang ke laut, dan mencemari lautan, lalu berdampak lebih lanjut kepada makhluk hidup didalamnya,” tutur Widodo.
Saat ini sudah banyak operasi pembersihan pantai yang dilakukan secara masif. Namun hal ini tidak disertai dengan revolusi mental dari masyarakat dalam hal membuang sampah. Sehingga hasilnya pun percuma. “Padahal kayak di lokasi wisata Raja ampat kan banyak pari mantanya dan itu berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Jadi rentan juga dapat kiriman sampah dari Samudera Pasifik tersebut,” ujar Widodo. Nampaknya masyarakat harus lebih lagi serius dengan penanganan sampah yang ada. Reward dan punishment bisa menjadi pilihan untuk kawasan wisata di pesisir.
“Kayaknya harus dibikin pasukan kayak Baywatch tapi ini Sampah-watch atau tempat-tempat wisata memberikan insentif bagi para pengunjung yang memungut sampah. Misalkan kalau ngumpulin sampah akan dikasih stamp, trus setelah berapa kali stamp, nanti dapat tiket kunjungan lagi, atau gimana yang bisa bikin pengunjung juga untung,” ujar Widodo.
Kalau menurut traveler, bagaimana? (bnl/aff)