Kompas Cetak, Kamis, 10 Agustus 2017
JAKARTA, KOMPAS — Pemotongan anggaran yang dilakukan di kementerian dan lembaga mengganggu kinerja. Salah satu dampaknya adalah kegiatan riset mandek karena anggaran riset ke lapangan dipangkas. Tak hanya itu, pengoperasian alat pemantau gempa bumi dan tsunami juga terganggu.
Informasi yang didapat Kompas, Rabu (9/8), di Jakarta, 30 persen atau 50 dari 165 sensor gempa bumi di bawah kendali Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tak beroperasi. Lima tide gauge (radar untuk mengonfirmasi jika ada tsunami) juga berhenti beroperasi. Pengoperasian sirene tsunami pun dikhawatirkan tergangggu. Alat-alat itu butuh perawatan rutin, selain pengisian pulsa berbasis satelit, agar tetap terhubung dengan pusat kendali operasi di kantor BMKG. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Mochammad Riyadi memaparkan, jumlah sensor gempa yang tak beroperasi kurang dari 50 unit. ”Tetapi memang terganggu karena ada pemotongan anggaran. Kira-kira 20 persen yang tak beroperasi. Itu lebih karena alat-alatnya tua. Secara nasional, kami bisa memantau kegempaan,” ujarnya. Penghematan harus dilakukan setelah BMKG mendapat pemotongan anggaran tahun ini Rp 89 miliar. Penghematan dilakukan, antara lain, dengan menghentikan belanja barang. ”Anggaran perawatan alat bersifat preventif dihilangkan sehingga tak ada pengecekan rutin sensor di lapangan. Untuk korektif jika ada kerusakan masih ada,” kata Riyadi. Kontrak perawatan alat yang rusak untuk bulan ini masih berjalan. ”Hanya, mungkin tak bisa untuk membayar sampai akhir tahun, kemungkinan hingga September atau Oktober,” ujarnya.
Pemotongan anggaran juga mengganggu kegiatan operasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, tahun ini anggaran lembaganya dipotong Rp 167 miliar dari total Rp 1,8 triliun. ”Ini di luar dana cadangan penanganan bencana Rp 4 triliun,” ucapnya. Hal itu mengurangi kegiatan prabencana, antara lain sosialisasi, pembangunan sistem peringatan dini, dan pendirian pusat pengendali operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Kegiatan riset
Dampak pemotongan anggaran juga mengganggu kegiatan operasional peneliti. Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo mengatakan, biaya riset ke lapangan tak ada. ”Kini kami hanya bisa menganalisis ulang dan membuat model dari data yang dikumpulkan tahun sebelumnya,” ujarnya. Para peneliti di institusinya juga sulit mengakses data dan memublikasikan riset di jurnal internasional berbayar. Untuk akses jurnal, mereka mengandalkan rekan yang melanjutkan studi di luar negeri untuk mengunduh dari kampus.
Terkait hal itu, pemerintah menyiapkan regulasi untuk mencegah pemotongan anggaran riset ke depan. Jadi, nantinya anggaran riset ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat strategis tak bisa dipotong di tengah jalan. Itu akan diatur dalam undang-undang dan peraturan presiden yang tertuang dalam klausul tentang komitmen pemerintah. Hal itu terlontar dalam Rapat Koordinasi Lembaga Peneliti dan Pengabdian Masyarakat dan Balitbang 2017 serta Rapat Paripurna Dewan Riset Nasional di Makassar, Rabu. Klausul ini jadi bagian dari rencana UU inovasi yang diusulkan Dewan Riset Nasional (DRN). Kepala DRN Bambang Setiadi mengatakan, pihaknya perlu memberi masukan tentang perlunya sistem inovasi nasional dan UU inovasi.
Hal itu karena negara yang maju ekonominya memiliki UU inovasi. Contohnya, Korea Selatan punya peraturan khusus tentang inovasi iptek yang diterbitkan pada 1997, Amerika Serikat memiliki Innovation Act, Agency Innovation Act, Standard Productivity Innovation Board Act 2002. ”Dengan memiliki UU inovasi, pemerintah tak dibolehkan memotong anggaran riset strategis. Pemerintah boleh memotong anggaran untuk efisiensi, tetapi untuk hal strategis tak boleh dipotong di tengah jalan,” ujarnya. (AIK/YUN)