Sebagai negara maritim, yang ingin menjadi Pusat Maritiim Dunia, sudah seharusnya pengembangan sumber daya manusia Indonesia berbasis maritim menjadi satu kebutuhan utama. Yakni, sumber daya manusia yang bisa memahami dan mengembangkan potensi maritim secara optimal.
Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN, Prof. Widodo Setiyo Pranowo, menjelaskan bahwa pelaut yang ulung dan tangguh tidak dilahirkan dari laut yang tenang.
“Artinya, secara implisit, bisa dikatakan bahwa kita tidak bisa bermusuhan dengan gelombang di laut. Tapi kita harus bernafas bersama gelombang. Karena, untuk memastikan keberhasilan dalam memanfaatkan sumber daya laut, maka manusia harus bisa memahami interaksi antara manusia dengan laut dan atmosfer,” kata Widodo saat memberikan orasi ilmiah pada acara wisuda perwira Akademi Maritim Nasional Jakarta Raya (AMAN JAYA), ditulis Minggu (31/12/2023).
Ia menjelaskan antara laut dan atmosfer tak bisa dipisahkan karena saling berhubungan dalam satu siklus yang tak dapat terputus.
“Jika digambarkan, energi Matahari yang masuk ke laut, akan kembali dilepaskan ke angkasa, menciptakan flux yang akan menciptakan perbedaan tekanan yang menimbulkan angin. Dimana angin ini lah yang akan membangkitkan gelombang dan arus permukaan laut,” paparnya.
Kekuatan angin pun dapat masuk hingga kolom air hingga kedalaman tertentu, yang dapat menciptakan turbulensi. Salah satu contoh, yang terjadi di Selat Panaitan, di Indonesia, dan juga di Selat Anthiokia, Perancis, yang disebut cross wave.
“Cross wave, terbentuk dari persilangan antara dua pola penjalaran gelombang yang berbeda arah. Gelombang tersebut bisa Gelombang akibat angin (Wind waves) yang bersilangan dengan Gelombang Alun (Swell waves) sehingga menghasilkan gelombang berbentuk seperti kotak atau persegi,” paparnya lagi.
Oleh karena, Widodo menegaskan untuk menjadi pelaut unggul dan handal, setiap orang harus memahami interaksi ini sehingga dapat melewati dan menyikapi setiap gelombang yang ada dihadapannya ketika berlayar.
“Ketika panjang suatu kapal lebih pendek daripada panjang satu gelombang, maka kapal tidak akan stabil mengarungi lautan, kecepatan kapal berkurang dan waktu tempuh kapal melambat, sehingga mempengaruhi bahan bakar dan logistik kapal,” demikian papar Widodo yang juga aktif sebagai pengajar Prodi S2 Oseanografi Sekolah Tinggi Teknologi TNI Angkatan Laut (STTAL), saat memberikan contoh interaksi antara manusia dengan gelombang.
Ia menambahkan, interaksi laut dan atmosfer berupa gelombang juga bisa bernilai bagi ekonomi, melalui sektor pariwisata.
“Sebagai contoh, tidal bore yang berlokasi di muara Sungai Kampar Riau, yang dikenal sebagai Gelombang Bono. Dimana, volume debit dari Sungai Kampar yang deras bertemu penjalaran gelombang pasang surut Selat Malaka, menghasilkan tidal bore, yang digunakan sebagai lokasi surfing,” kata Widodo.
Widodo, yang juga sebagai salah satu anggota dewan penasehat untuk Korea – Indonesia Marine Technology Cooperation and Research Center (MTCRC), juga mencontohkan di Teluk HangZhou yang bertemu dengan Sungai Qiantang di Provinsi Zhejiang, China, ada tidal bore yang sangat tinggi hingga mencapai 10 meter, dinamakan ‘Gelombang Sisik Ikan’, walaupun bersifat destruktif namun juga dijadikan obyek wisata.
Widodo menambahkan, ada satu lagi gelombang ekstrim yang perlu diwaspadai, yakni gelombang Tsunami. Gelombang tsunami bisa dibangkitkan oleh gempa tektonik di wilayah subduksi di bawah dasar laut dengan kekuatan gempa Mw 6.9 – 9.1, bisa juga dibangkitkan oleh letusan gunung api bawah laut. Gelombang tsunami akan sangat tinggi seperti dinding apabila semakin menjalar menuju ke pantai, namun ketika di tengah samudera yang dalam, ketinggiannya hanyalah beberapa sentimeter saja.
“Sehingga apabila ada tsunami early warning, dianjurkan para nahkoda kapal sebaiknya membawa kapalnya menuju ke samudera lepas, meninggalkan wilayah pantai,” ungkapnya.
Sehingga, Widodo menyatakan sangat penting bagi para perwira niaga dan taruna taruni untuk pandai membaca berbagai tanda-tanda astronomi dan oseanografi, serta menguasai teknologi peta laut, peringatan dini tsunami dan cuaca laut ekstrim, dan tentunya juga harus menguasai teknologi navigasi pelayaran terkini.
“Dan digabungkan dengan teknologi kelautan yang ada sekarang untuk bisa mengarungi semua lautan di Bumi ini. Selama jangan pernah lupa daratan jika berada di laut, dan jika berada di darat, jangan pernah lupa tentang laut,” pungkasnya.
Jurnalis yang Melaporkan : Ranny Supusepa
Sumber Asli Berita: Kedaipena.com
Dilansir juga oleh: Politeknik AMAN JAYA