JAKARTA, (ANTARA NEWS).- Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang sering digunakan mamalia laut bermigrasi dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia menjadi berbahaya dengan adanya sampah plastik.
Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo Pranowo di Jakarta, Kamis 22 November 2018, mengatakan, arus yang secara internasional disebut Indonesian Through-Flow (ITF) ini merupakan aliran suatu volume besar massa air dari Samudera Pasifik yang melewati perairan internal Indonesia ketika menuju ke Samudera Hindia.
Pada publikasi ilmiah 2010 tentang ITF selama periode 2004 hingga 2006 yang ia kerjakan bersama sejumlah peneliti Indonesia dan asing serta dipimpin oleh Prof Arnold Gordon dari Columbia University, AS, diketahui bahwa debit Arlindo yang mengalir di Selat Makassar berkisar antara 9,2 juta meter kubik (m3) per detik hingga 11,6 juta m3 per detik. Sedangkan arus yang melewati Selat Seram dan sekitarnya mencapai 1,1 juta m3 per detik hingga 2,5 juta m3 per detik.
“Bisa dibayangkan seberapa besar volume airnya? Dan misalkan 1 persen saja arus tersebut mengandung sampah maka luar biasa adukan sampah di laut kita,” ujar Widodo.
Selama ini, menurut dia, tidak terlihat mengingat arus laut dalam hitungan detik akan cepat memindahkan sampah. Beda jika sampah-sampah itu ada di pinggir jalan, yang bahkan ketika ada angin pun tidak akan terlalu jauh berpindah.
Peneliti Pencemaran Laut pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Reza Cordova mengatakan mamalia laut yang merupakan “migratory species” –contohnya paus — di mana pun berada bahaya sampah plastik selalu mengintai. Terlebih cara makan mamalia ini hanya dengan “memfilter” air dengan nutrisi tinggi dari krustasea kecil.
“Tapi kalau banyak sampah, ya sampah itu yang masuk ke saluran pencernaannya,” ujar Reza. Sampah plastik menjadi salah suatu indikasi yang menggambarkan parahnya kondisi laut di Indonesia. Plastik yang termakan oleh biota akan mengganggu kesehatan saluran pencernaan biota laut secara langsung, kata Reza. Paus atau biota laut lainnya, menurut dia, jadi tidak bisa menyerap nutrisi secara baik, apalagi jika sampah plastiknya sampai puluhan kilogram (kg). Akumulasi sampah yang ada di perut akan membuat terluka dan itu menjadi salah satu penyebab kematian dari mamalia-mamalia laut yang terdampar.
Meski demikian, ia mengatakan untuk kasus paus sperma yang mati terdampar di pesisir Desa Kapota Utara, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang ditemukan pada Minggu, 18 November 2018 lalu, belum tentu karena sampah plastik meski diketahui di dalam perutnya ditemukan sampah plastik seberat 5,9 kg.
Pewarta: Virna P Setyorini | Editor: Erafzon Saptiyulda AS | ANTARA 2018