KOMPAS Cetak, Kamis, 31 Agustus 2017
METROPOLITAN
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan sertifikat HPL dan HGB atas pulau reklamasi C dan D disebut melanggar hukum. Pemerintah pusat, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang memotori moratorium proyek reklamasi Teluk Jakarta tak juga mengeluarkan tanggapan resmi atas hal ini.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (30/8), belum merespons pertanyaan Kompas terkait dengan hak pengelolaan lahan (HPL) dan hak guna bangunan (HGB) yang diterbitkan untuk Pulau C dan D. Permintaan konfirmasi diajukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Yuyu Rahayu. Sikap KLHK ditunggu, setidaknya diharapkan bisa memberikan keterangan bahwa proyek pulau reklamasi Teluk Jakarta saat ini benar telah sesuai dengan hukum atau tidak. Dalam penelusuran Litbang Kompas atas pemberitaan terkait reklamasi diketahui, pada akhir 2016, moratorium proyek reklamasi Teluk Jakarta diperpanjang dari 24 Desember hingga maksimal 120 hari ke depan (April 2017). Menteri KLHK minta analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) selesai dua-tiga minggu terhitung dari Desember 2016 itu. Pembangunan di Pulau C dan D dihentikan disertai dengan 11 sanksi.
Adapun Pulau G dihentikan disertai dengan enam sanksi. Untuk Pulau G, amdal yang baru pun masih banyak kendala. Untuk Pulau C dan D, pengembang sudah memenuhi 10 dari 11 sanksi. Namun, sanksi terakhir belum dipenuhi, yaitu pembuatan amdal baru. Pada 30 Maret 2017, pembahasan dokumen amdal oleh tim teknis dan Komisi Penilai Amdal Daerah Provinsi DKI Jakarta terkait reklamasi dan pembangunan di atas Pulau C dan D, di Jakarta, diwarnai aksi meninggalkan ruangan oleh perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta. Pembahasan itu melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup kala itu, Andono Warih, mengatakan, perbedaan utama dokumen amdal sebelumnya dengan yang kini dibahas terletak pada jumlah pulau yang tercakup dan substansinya. Pada 28 April 2017, dalam Diskusi Keadilan Sosial di Teluk Jakarta yang diadakan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan telah membuat revisi rencana induk reklamasi Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD). Revisi di antaranya meliputi penurunan muka tanah hingga revitalisasi lingkungan dari hulu hingga hilir. Sesuai instruksi dari Presiden Joko Widodo, Bappenas bertugas mengintegrasikan megaproyek reklamasi 17 pulau di pantura Jakarta dengan NCICD. Pada 27 Februari 2017, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan memublikasikan hasil studi dan kajian reklamasi Teluk Jakarta. Studi reklamasi di Teluk Jakarta, ujar Luhut, sudah lama dilakukan Port of Rotterdam, Belanda. Bahkan, kajiannya sudah dilakukan sejak zaman pemerintahan Soeharto. Namun, hingga kini kejelasan kajian belum jadi juga dipaparkan kepada publik. Agustus ini, Kantor Badan Pertanahan Nasional Jakarta Utara menerbitkan sertifikat HGB atas Pulau D. HGB di atas HPL yang telah diterbitkan pemerintah sebelumnya. Namun, pengembang memang belum bisa meneruskan pembangunan karena dasar hukum menerbitkan izin mendirikan bangunan belum ada. Itu karena pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil masih mandek. Pembahasan aturan itu terhenti di DPRD DKI.
Dasar aturan tata ruang
KSTJ menilai penerbitan sertifikat HPL dan HGB Pulau D melanggar Peraturan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Dalam Pasal 69 peraturan menteri itu disebutkan, permohonan hak pengelolaan harus dilampiri dengan izin lokasi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Padahal, saat ini belum ada aturan tentang tata ruang wilayah pulau reklamasi. Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja, kemarin, mengatakan, sesuai aturan itu, HPL baru bisa diterbitkan jika sudah ada Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta. Peraturan itu saat ini masih berupa draf rancangan peraturan daerah karena mandek dalam pembahasan di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI. Bapemperda belum melanjutkan pembahasan draf raperda itu setelah kasus suap menjerat mantan anggota DPRD, M Sanusi. Direktur Eksekutif Walhi Yaya Nur Hidayati menyatakan, izin lingkungan untuk Pulau C dan D diduga terbit karena ada rekayasa terhadap dokumen amdal yang menjadi syarat sebelum diterbitkan izin lingkungan. Izin lingkungan dan amdal bagian dari landasan diterbitkannya HPL. Dokumen amdal terdiri dari kerangka acuan, dokumen amdal, dan dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup/rencana pengelolaan lingkungan hidup. Menurut Yaya, perubahan izin lingkungan itu tidak sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Menteri LHK karena proses tidak dilakukan menyeluruh, termasuk kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) hanya formalitas. Ketua Bidang Pengembangan Hukum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Martin Hadiwinata mengatakan, ”KLHS seharusnya disusun ulang bersama masyarakat, tetapi proses itu tak dipertimbangkan.”
Kaji amdal empat pulau
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kini tengah menelaah kembali dokumen amdal reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Berdasarkan kajian sebelumnya, direkomendasikan Pulau G tidak dilanjutkan pembangunannya dan tiga pulau lain, C, D, dan N, bisa dilanjutkan dengan berbagai persyaratan serta penyesuaian. ”Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengirim dokumen amdal Pulau G ke Dirjen Pengelolaan Ruang Laut dan kemudian mendisposisinya ke Badan Riset dan SDM KKP. Kami menunggu dokumen amdalnya ditelaah kembali oleh beberapa peneliti terkait,” kata Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir KKP Widodo Pranowo. Widodo mengatakan, pada 4 Agustus 2016, tim teknis KKP telah merekomendasikan agar pembangunan Pulau G tidak dilanjutkan. Sementara itu, tiga pulau reklamasi lain, yaitu Pulau C, D, dan N, bisa dilanjutkan dengan beberapa persyaratan dan penyesuaian. Adapun 13 pulau reklamasi lainnya, meliputi Pulau A, B,E, F, H, I, J, K, L, M, O, Q, dan P, perlu dilakukan penajaman kajian dengan mempertimbangkan aspek manfaat dan masalah yang akan terjadi. (ISW/AIK/DEA/DD14).