KOMPAS, Jumat, 9 Juni 2017, Halaman 14.
IPTEK LINGKUNGAN & KESEHATAN
JAKARTA, KOMPAS — Pencemaran sampah plastik di Laut Jawa amat mengkhawatirkan. Selain sampah plastik berukuran makro, ditemukan plastik ukuran mikro yang bisa termakan dan terakumulasi dalam tubuh ikan. Untuk itu, pencemaran sampah plastik di perairan harus segera diatasi.
Riset terbaru yang dilakukan Noir Primadona Putra dari Departemen Kelautan Universitas Padjadjaran, Bandung, menemukan tingginya volume sampah di sekitar Pulau Biawak, Indramayu, Jawa Barat. Volume sampah yang dikumpulkan mencapai 68 kilogram, dari garis pantai sepanjang 655 meter atau 1 kg per 9,6 meter panjang pantai. ”Dari sampah ini, sebagian besar berupa busa styrofoam dan berikutnya plastik,” ucap Noir, Kamis (8/6), di Jakarta. Volume sampah mikro plastik mencapai 0,08 per 1 kg. Penelitian di 46 lokasi lain di Laut Jawa, di sekitar Kepulauan Seribu dan perairan Banten, juga ditemukan tingkat pencemaran plastik tinggi. ”Hal paling berbahaya sebenarnya cemaran plastik mikro. Sebab, itu bisa di makan ikan, lalu terakumulasi ke jaringan tubuhnya,” ujarnya.
Temuan itu menguatkan riset yang dilakukan Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, yang dirilis di jurnal Science, tahun 2015, bahwa Indonesia termasuk negara kedua terbesar penyumbang sampah ke lautan setelah China. To- tal limbah yang telah dibuang Indonesia ke laut 3,2 juta ton.
Noir menjelaskan, untuk sampah plastik ukuran makro (di atas 2,5 cm), banyak yang berasal dari Semarang dan Kalimantan, selain dari Batam, bahkan Singapura dan India. Analisis asal-usul itu berdasarkan asal merek lokal yang tertera pada botol kemasan plastik. ”Untuk merek yang ditemui secara nasional, sulit dikenali asal-usulnya,” ucapnya.
Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo menambahkan, berdasarkan pola arus laut, sumber pencemaran sampah plastik makro umumnya dari lokasi daratan di dekatnya. ”Secara kasatmata, kita bisa melihat tingginya pencemaran plastik di Laut Jawa. Jika dari Jakarta mau ke Pulau Seribu, kapal berhenti sampai tiga kali karena tersangkut sampah plastik. Kondisi ini amat mengkhawatirkan,” ujarnya.
Sampah kiriman
Berbeda dengan sampah plastik makro, untuk sampah plastik ukuran mikro, menurut Widodo, diduga kuat adalah kiriman dari perairan lain. Arus laut di sekitar Pulau Biawak amat pelan dan cenderung bolak-balik dalam pola elips akibat pergerakan angin dan perpaduan pasang surut. ”Sampai enam bulan, limbah plastik ini hanya berada di se- putar area sama. Padahal, butuh 150 tahunan untuk mengurai plastik jadi ukuran mikro. Jika dihitung ke belakang, kita yang tinggal di pantai utara Jawa dan Kalimantan Selatan pasti belum mengonsumsi plastik banyak. China dan Jepang sudah lebih dulu,” katanya.
Dengan mengukur pola arus laut, kemungkinan besar mikro plastik itu kiriman dari negara-negara di Pasifik dan China Selatan. ”Pola arus laut umumnya dari Samudra Pasifik melalui Laut China Selatan, Selat Karimata, baru ke Laut Jawa. Sebagian kecil arus laut dari Samudra Pasifik, Selat Makassar, sebelum ke Selat Lombok dan sebagian ke arah Laut Jawa bagian timur,” ujarnya. Perairan Indonesia menjadi titik penerobosan massa air laut dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Fenomena itu dikenal sebagai ”arlindo”. Meski kuat dugaan sampah mikro plastik ini kiriman dari negara lain pada masa lalu, ke depan itu akan jadi masalah besar seiring tingginya tren pembuangan plastik ke laut. Akumulasi kiriman sampah mikro plastik dari Samudra Pasifik akan bercampur dengan sampah mikro yang terurai dari cemaran plastik dari Indonesia sendiri. (AIK)