Koran TEMPO, Jumat, 22 September 2017 | Berita Utama | Devy Ernis, Gangsar Parikesit, Avit Hidayat
Tag: reklamasi pantura jakarta
BERITA | Selasa, 19 September 2017 | KORAN TEMPO
Peneliti Ingatkan Bahaya Reklamasi:
Sejalan dengan temuan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Reporter: Avit Hidayat |avit.hidayat@tempo.co.id
JAKARTA — Sejumlah peneliti lingkungan kembali memperingatkan pemerintah soal bahaya proyek reklamasi Teluk Jakarta. Mereka meminta pemerintah tidak melanjutkan megaproyek pengurukan laut untuk membuat 17 pulau tersebut. “Saya melihat ini mau digiring seperti asas ketelanjuran,” kata ahli oseanografi Institut Pertanian Bogor, Alan Frendy Koropitan, ketika dihubungi kemarin. Dalam waktu dekat, pemerintah berencana mencabut sanksi penghentian sementara (moratorium) reklamasi Pulau G.
Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan pencabutan moratorium Pulau C dan D. Tapi keputusan resmi pencabutan moratorium reklamasi ketiga pulau tersebut akan diterbitkan serempak. Menurut Alan, pemerintah seperti memposisikan diri untuk menyelamatkan investasi. Memang, kata dia, penyelamatan investasi tidak dilarang. Tapi penyelamatan investasi juga harus memperhatikan keselamatan lingkungan. Bersama Koalisi Pakar Interdisiplin, Alan pernah merilis kajian pada 14 Oktober 2016. Dalam koalisi itu bergabung sejumlah peneliti, termasuk dari Lem-baga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kajian Koalisi menyebutkan reklamasi 17 pulau bakal memperparah pendangkalan dan pencemaran di Teluk Jakarta. Sumber utama sedimentasi, menurut kajian Koalisi, memang bukan berasal dari material reklamasi. Teluk Jakarta terus mengalami pendangkalan karena lumpur dan kotoran yang dibawa 13 sungai yang melintasi Ibu Kota. Tapi, setelah terbendung tanggul dan pulau reklamasi, proses sedimentasi akan lebih cepat, sekitar 50-60 sentimeter per tahun. Koalisi juga mengkritik rencana megaproyek Giant Sea Wall. Menurut mereka, tanggul laut raksasa itu akan membuat Teluk Jakarta semakin tercemar dan menjadi “comberan
raksasa”.
Peneliti senior dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Widodo Setiyo Pranowo, mengatakan hal senada. Menurut dia, pembangunan tanggul laut dan re-klamasi 17 pulau berpotensi menjadikan Teluk Jakarta seperti “comberan raksasa” lantaran arus air laut di dalam tanggul mengecil. “Yang kami takutkan, kalau dari muara sungai tak dikontrol, limbahnya akan membusuk dalam tanggul,” ucap Widodo.
KOMPAS Cetak, Kamis, 31 Agustus 2017
METROPOLITAN
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan sertifikat HPL dan HGB atas pulau reklamasi C dan D disebut melanggar hukum. Pemerintah pusat, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang memotori moratorium proyek reklamasi Teluk Jakarta tak juga mengeluarkan tanggapan resmi atas hal ini.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (30/8), belum merespons pertanyaan Kompas terkait dengan hak pengelolaan lahan (HPL) dan hak guna bangunan (HGB) yang diterbitkan untuk Pulau C dan D. Permintaan konfirmasi diajukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Yuyu Rahayu. Sikap KLHK ditunggu, setidaknya diharapkan bisa memberikan keterangan bahwa proyek pulau reklamasi Teluk Jakarta saat ini benar telah sesuai dengan hukum atau tidak. Dalam penelusuran Litbang Kompas atas pemberitaan terkait reklamasi diketahui, pada akhir 2016, moratorium proyek reklamasi Teluk Jakarta diperpanjang dari 24 Desember hingga maksimal 120 hari ke depan (April 2017). Menteri KLHK minta analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) selesai dua-tiga minggu terhitung dari Desember 2016 itu. Pembangunan di Pulau C dan D dihentikan disertai dengan 11 sanksi.
KOMPAS Cetak, Selasa, 11 Juli 2017
JAKARTA, KOMPAS — Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta mencapai Kepulauan Seribu. Selain kerang, ikan pari pun tercemar. Pembangunan pulau reklamasi dinilai berdampak pada pelambatan arus dari muara sungai dan menambah tinggi tingkat pencemaran di perairan. ”Penelitian kami terhadap kualitas air, sedimen, dan kerang kapak-kapak di Pulau Panggang dan Pulau Karya, Kepulauan Seribu juga tercemar logam berat,” kata Reza Cordova, peneliti kimia laut dan ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Jakarta, Senin (10/7). Riset bersama Etty Riani dan Harry Sudrajat Johari dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2017 menemukan, konsentrasi rata-rata logam berat kadmium (Cd) di perairan sekitar Pulau Panggang dan Pulau Karya pada Oktober (2016) masing-masing 0,003 dan 0,004 miligram (mg/liter (L). Konsentrasi itu melebihi ambang batas yang ditetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, yang memperbolehkan Cd sampai 0,001 mg/L. Sementara hasil analisis logam kadmium pada kerang kapak-kapak berkisar 0,0067-0,0110 mg/kg di Pulau Panggang dan 0,0035-0,0080 mg/kg di Pulau Karya. Hasil analisis logam timbal (Pb) pada kerang berkisar 0,0043-0,0090 mg/kg di Pulau Panggang dan 0,0025-0,0120 mg/kg di Pulau Karya. Hasil riset itu menunjukkan, logam berat kadmium dan timbal pada kerang kapak-kapak belum melewati baku mutu, yakni lebih kecil 1,0 mg/kg bagi Cd dan lebih kecil 1,5 mg/kg untuk Pb. Meski demikian, penelitian tersebut menemukan adanya korelasi antara tingginya pencemaran air dan sedimen dengan kenaikan akumulasi logam berat pada kerang kapak-kapak. Jika pencemaran berlanjut, hanya soal waktu, kerang kapak-kapak di Kepulauan Seribu tak bisa lagi dikonsumsi sebagaimana kerang hijau yang dibudidayakan di pesisir Teluk Jakarta. Studi yang dilakukan Fitri Budiyanto, Lestari, dan Fahmi dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI juga menemukan adanya konsentrasi merkuri dalam daging dan hati dari empat spesies ikan pari yang ditangkap di Teluk Jakarta dengan konsentrasi sebesar 0,633 mg/kg. Empat jenis ikan pari tersebut adalah Himantura walga, Neotrygon kuhlii, Himantura gerrardi, dan Himantura uarnacoides. Meski tingkat kandungannya masih aman untuk dikonsumsi, berdasarkan standar pemerintah 1 mg/kg, pencemaran ini patut diwaspadai. Konsumsi berlebih ikan pari akan mengakumulasi logam berat merkuri dalam tubuh.
Arus Laut
Menurut peneliti bidang Oseanografi pada Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Widodo Pranowo, karakter sirkulasi arus Teluk Jakarta turut memengaruhi tingginya sedimentasi dan akumulasi pencemaran di perairan ini. ”Sirkulasi arus Teluk Jakarta berpola bolak-balik dengan kecepatan rendah,” ujarnya. Kondisi itu menyebabkan segala material seperti polutan yang terangkut oleh sungai ke Teluk Jakarta akan tertinggal lama sebelum dibawa keluar. Dari penelitian kami, material polutan terakumulasi sepanjang pesisir Teluk Jakarta,” ucapnya. Pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta, kata Widodo, akan meningkatkan konsentrasi polutan, termasuk logam berat. ”Kecepatan arus yang keluar dari muara sungai akan menurun. Pada akhirnya hal itu akan menyebabkan sedimentasi makin menumpuk dan ini artinya meningkatkan konsentrasi zat pencemar,” ujarnya. Widodo menambahkan, mangrove seharusnya mereduksi logam berat yang terakumulasi di pantai. ”Apabila menilik rencana reklamasi dan konsep tanggul laut raksasa Teluk Jakarta, keberadaan mangrove dikawatirkan hilang. Maka logam berat di Teluk Jakarta akan makin tak tertangani,” ujarnya. (AIK).
Sumber Berita : Harian Kompas 11 Juli 2017 Hal.14