Jakarta, 09 Agustus 2016. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyelenggarakan workshop pemaparan dari Prof. Dr. Yusaku Ohta dari Tohoku University, Jepang dengan tema “Penentuan Magnitudo Cepat dengan Data GPS”, yang bertempat di Auditorium. Turut diundang oleh BMKG, peneliti P3SDLP, Dr.-Ing. Widodo Pranowo untuk menghadiri workshop tersebut. Disamping itu, Widodo, berkesempatan juga bertemu dengan Dr. Sven Harig dan Antonia Imerz dari Alfred Wegener Institute for Marine and Polar Research (AWI), Jerman yang sedang memberikan training workshop simulasi numerik propagasi tsunami di Lantai 3 Gedung C, BMKG. Berempat, bersama dengan Tri Handayani, S.Si, berkesempatan untuk berdiskusi perkembangan terkini skenario simulasi basis data yang telah dimutakhirkan hingga akhir tahun 2015, dimana Widodo, terlibat sebagai reviewer.
Tag: tsunami
Diberitakan Oleh VolskwagenStiftung Pada 31 Januari 2013
31. Januar 2013
Aus Anlass des vom 13. bis 15.2.2013 in Hannover stattfindenden Symposiums “Extreme Events” sprachen wir mit Mitorganisator Prof. Dr. Jörn Behrens von der Universität Hamburg, KlimaCampus, über die Chancen und Risiken der Modellierung von Extremereignissen.
Was verbirgt sich hinter dem Forschungsfeld “Modellierung von Extremereignissen”?
Die Projekte, die dieses Forschungsfeld auf dem Symposium “Extreme Events” Mitte Februar in Hannover vertreten werden, stellen diverse Aspekte sowohl der Modellierungsmethoden als auch der untersuchten Extremereignisse dar. So wird mit stochastischen Modellen das Auftreten von extremen Niederschlägen erklärt, mittels Laborexperimenten und Vergleichen mit mathematischen Modellen die Selbstentzündung von Lithium-Batterien studiert oder mit Hilfe gekoppelter deterministischer Computersimulationen die Ausprägung von extremen Tsunami-Ereignissen untersucht. Allen diesen Forschungsprojekten gemeinsam ist die Anwendung von mathematischen Modellen als Erklärungshilfe für extrem seltene Ereignisse mit extremen Auswirkungen.
Wer kann mit den Ergebnissen etwas anfangen und für welche Zwecke?
Der Nutzen dieser Forschungsprojekte ist so vielfältig wie die Projekte selbst. Nehmen wir z.B. das Erdbeben und den anschließenden Tsunami, der vor zwei Jahren in Japan verheerende Schäden angerichtet und sogar zur Atomkatastrophe von Fukushima geführt hat. Hier waren Fachleute überrascht vom Ausmaß des Erdbebens und der Wellenhöhe. Heute verstehen wir schon besser, welche Bruchmechanismen in der Erdkruste zu sehr großen Wellen führen. Das erlaubt uns genauere Projektionen, die wiederum der Gefahrenabschätzung, der Vorbereitung auf und dem Schutz vor solchen Ereignissen dienen.
Wie präzise können Vorhersagen über Katastrophen wie Erdbeben oder Tsunamis auf Grundlage der Computermodelle gemacht werden?
Die Vorhersage von Erdbeben wird auch in absehbarer Zeit nicht möglich sein. Allerdings erlauben uns die neuen Modelle eine deutlich verbesserte Abschätzung des potentiellen Verhaltens. Denn jetzt können mehr relevante Prozesse in der Simulation berücksichtigt werden, beispielsweise die Bruchmechanik in der Erdkruste, die Wellenausbreitung in der Wassersäule und die Auflaufprozesse an Land. Doch kommt es nicht nur darauf an, das einzelne Ereignis genau zu berechnen, sondern auch die Eintrittshäufigkeit abzuschätzen. Auch hier ist die Modellierung hilfreich, da sie uns eine Art virtuelles Labor zur Verfügung stellt, mit dem wir viele solcher Extremereignisse im Modell erzeugen können.
Welche Hürden gibt es bei der Modellierung von Extremereignissen?
Die Schwierigkeiten sind immer noch vielfältig. Die statistischen Methoden für extreme Ereignisse sind noch immer nicht so weit entwickelt, dass sie für alle Fälle zuverlässig arbeiten. Für die deterministische Modellierung fehlen uns häufig noch ganz grundlegende Kenntnisse: Viele der Prozess-Wechselwirkungen, beispielsweise der Bruchmechanik und der Wellenanregung bei Tsunamibeben, sind noch nicht verstanden und können auch noch nicht mathematisch in die Modellbildung integriert werden. Darüber hinaus fehlen häufig Daten von Extremereignissen, da sie extrem selten auftreten.
Diberitakan di Website Pusat Informasi Riset Bencana Alam (PIRBA) Tanggal :14/03/2008
Siaran Audio on Demand dari DW World (Deutsche Welle) hari Jum’at, 14 Maret 2008 mengulas tentang Persiapan Pencanangan Sistem Peringatan Dini Tsunami dengan narasumber seorang peneliti GITEWS – Widodo Pranowo untuk pembangunan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia dalam kerangka Kerjasama German Indonesia Tsunami Early Warning System (GITEWS). Beliau mengatakan bahwa memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengimplementasikan Sistem Peringatan Dini Tsunami yang terintegrasi.
Widodo menjelaskan, bahwa tahapan pengerjaan Sistem Peringatan Dini pada saat ini (tahun 2008) telah memasuki tahun terakhir. Dengan progress pembangunan sekitar 70%, sehingga dibutuhkan effort yang lebih untuk melengkapinya. Peralatan Sistem Peringatan Dini Tsunami antara lain adalah Buoy dan Seiscom. Buoy terdiri dari detektor yang berfungsi untuk melihat perubahan permukaan air laut, selain itu juga terdapat OBU (Ocean Bottom Unit) yang berfungsi untuk mengirimkan signal getaran gempa. ‘Seiscom’ adalah alat yang berfungsi untuk menerima sinyal dari sumber gempa. Alat ini dapat memberikan warning secara cepat dan sudah dapat beroperasi sejak gempa Bengkulu tahun 2007. Seiscom dioperasikan oleh BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika).
Distribusi penyampaian peringatan dini tsunami telah dipersiapkan melalui Ina TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) yang dikoordinatori oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Ristek), yaitu instansi BMG sebagai pemberi informasi lokasi gempa dan potensi gempa terhadap tsunami. Sedangkan yang memiliki otoritas untuk menyampaikan informasi evakuasi kepada masyarakat adalah pemerintah daerah setempat.
Menurut Widodo, beberapa kendala yang membuat proyek pembangunan sistem peringatan dini tsunami lambat adalah karena sistem ini dibuat untuk jangka panjang sehingga harus dipastikan dapat berfungsi dengan baik. Selain itu perbedaan kultur yang ada pada masyarakat Indonesia juga ikut mempengaruhi proses penyiapan masyarakat menjadi agak lama.
Sistem ini perlu dipasang di kawasan yang potensial akan tsunami, yaitu: daerah Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai Selatan Nusa Tenggara, Utara Papua, Halmahera, Laut Banda (merupakan daerah pertemuan tiga lempeng), Selat Makasar, sebelah atas Sulawesi. Dan beberapa daerah yang telah ditetapkan sebagai pilot area adalah: Cilacap Bali, dan Padang (karena ada energi yang belum terlepaskan), jelas Widodo. Terakhir disampaikan bahwa perlunya pengamanan terhadap komponen sistem peringatan dini yang harus terus ditingkatkan dan perlu disosialisasikan kepada masyarakat dengan baik.
Sumber: PIRBA
Link Berita dan Audio Interviewed Terkait:
- Kerjasama Jerman- Indonesia untuk Sistem Peringatan Dini – IPTEK – DEUTSCHE WELLE – JERMAN
- Wawancara dengan Widodo Pranowo, salah seorang ilmuwan dan kandidat Doktor di Bidang Sistem Peringatan Dini – DEUTSCHE WELLE – JERMAN