“I let my life flow into the ocean” | "Ngetutke ilining banyu" | Perjalanan seorang bocah yang takut dengan air karena pernah tenggelam di sungai namun dikemudian hari berkarir di sektor kelautan bidang oseanografi terapan.
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan sertifikat HPL dan HGB atas pulau reklamasi C dan D disebut melanggar hukum. Pemerintah pusat, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang memotori moratorium proyek reklamasi Teluk Jakarta tak juga mengeluarkan tanggapan resmi atas hal ini.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (30/8), belum merespons pertanyaan Kompas terkait dengan hak pengelolaan lahan (HPL) dan hak guna bangunan (HGB) yang diterbitkan untuk Pulau C dan D. Permintaan konfirmasi diajukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar serta Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Yuyu Rahayu. Sikap KLHK ditunggu, setidaknya diharapkan bisa memberikan keterangan bahwa proyek pulau reklamasi Teluk Jakarta saat ini benar telah sesuai dengan hukum atau tidak. Dalam penelusuran Litbang Kompas atas pemberitaan terkait reklamasi diketahui, pada akhir 2016, moratorium proyek reklamasi Teluk Jakarta diperpanjang dari 24 Desember hingga maksimal 120 hari ke depan (April 2017). Menteri KLHK minta analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) selesai dua-tiga minggu terhitung dari Desember 2016 itu. Pembangunan di Pulau C dan D dihentikan disertai dengan 11 sanksi.
Masyarakat bisa mengakses kembali informasi prakiraan pasang surut di seluruh perairan Indonesia melalui aplikasi berbasis Android. Informasi ini menyediakan prediksi naik turun muka air laut selama 14 hari ke depam dalam rentang per jam. ” Sebelumnya, aplikasi ini tidak bisa diakses selama beberapa bulan karena serangan peretas di pusat data KKP”, kata Widodo Pranowo, Kepala Laboratorium Data laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Jakarta Selasa (29/8). Saat tidak bisa diakses, banyak warga mengeluhkan hal itu, terutama para pembudidaya rumput laut yang membutuhkan informasi pasang surut untuk merencanakan penanaman atau pemanenan rumput laut. Sistem informasi pasang surut untuk publik ini dirintis sejak 2011. (AIK)
JAKARTA, KOMPAS — Pemotongan anggaran yang dilakukan di kementerian dan lembaga mengganggu kinerja. Salah satu dampaknya adalah kegiatan riset mandek karena anggaran riset ke lapangan dipangkas. Tak hanya itu, pengoperasian alat pemantau gempa bumi dan tsunami juga terganggu.
Informasi yang didapat Kompas, Rabu (9/8), di Jakarta, 30 persen atau 50 dari 165 sensor gempa bumi di bawah kendali Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tak beroperasi. Lima tide gauge (radar untuk mengonfirmasi jika ada tsunami) juga berhenti beroperasi. Pengoperasian sirene tsunami pun dikhawatirkan tergangggu. Alat-alat itu butuh perawatan rutin, selain pengisian pulsa berbasis satelit, agar tetap terhubung dengan pusat kendali operasi di kantor BMKG. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Mochammad Riyadi memaparkan, jumlah sensor gempa yang tak beroperasi kurang dari 50 unit. ”Tetapi memang terganggu karena ada pemotongan anggaran. Kira-kira 20 persen yang tak beroperasi. Itu lebih karena alat-alatnya tua. Secara nasional, kami bisa memantau kegempaan,” ujarnya. Penghematan harus dilakukan setelah BMKG mendapat pemotongan anggaran tahun ini Rp 89 miliar. Penghematan dilakukan, antara lain, dengan menghentikan belanja barang. ”Anggaran perawatan alat bersifat preventif dihilangkan sehingga tak ada pengecekan rutin sensor di lapangan. Untuk korektif jika ada kerusakan masih ada,” kata Riyadi. Kontrak perawatan alat yang rusak untuk bulan ini masih berjalan. ”Hanya, mungkin tak bisa untuk membayar sampai akhir tahun, kemungkinan hingga September atau Oktober,” ujarnya.
Pemotongan anggaran juga mengganggu kegiatan operasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, tahun ini anggaran lembaganya dipotong Rp 167 miliar dari total Rp 1,8 triliun. ”Ini di luar dana cadangan penanganan bencana Rp 4 triliun,” ucapnya. Hal itu mengurangi kegiatan prabencana, antara lain sosialisasi, pembangunan sistem peringatan dini, dan pendirian pusat pengendali operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Kegiatanriset
Dampak pemotongan anggaran juga mengganggu kegiatan operasional peneliti. Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo mengatakan, biaya riset ke lapangan tak ada. ”Kini kami hanya bisa menganalisis ulang dan membuat model dari data yang dikumpulkan tahun sebelumnya,” ujarnya. Para peneliti di institusinya juga sulit mengakses data dan memublikasikan riset di jurnal internasional berbayar. Untuk akses jurnal, mereka mengandalkan rekan yang melanjutkan studi di luar negeri untuk mengunduh dari kampus.
JAKARTA, KOMPAS — Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta mencapai Kepulauan Seribu. Selain kerang, ikan pari pun tercemar. Pembangunan pulau reklamasi dinilai berdampak pada pelambatan arus dari muara sungai dan menambah tinggi tingkat pencemaran di perairan. ”Penelitian kami terhadap kualitas air, sedimen, dan kerang kapak-kapak di Pulau Panggang dan Pulau Karya, Kepulauan Seribu juga tercemar logam berat,” kata Reza Cordova, peneliti kimia laut dan ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Jakarta, Senin (10/7). Riset bersama Etty Riani dan Harry Sudrajat Johari dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2017 menemukan, konsentrasi rata-rata logam berat kadmium (Cd) di perairan sekitar Pulau Panggang dan Pulau Karya pada Oktober (2016) masing-masing 0,003 dan 0,004 miligram (mg/liter (L). Konsentrasi itu melebihi ambang batas yang ditetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, yang memperbolehkan Cd sampai 0,001 mg/L. Sementara hasil analisis logam kadmium pada kerang kapak-kapak berkisar 0,0067-0,0110 mg/kg di Pulau Panggang dan 0,0035-0,0080 mg/kg di Pulau Karya. Hasil analisis logam timbal (Pb) pada kerang berkisar 0,0043-0,0090 mg/kg di Pulau Panggang dan 0,0025-0,0120 mg/kg di Pulau Karya. Hasil riset itu menunjukkan, logam berat kadmium dan timbal pada kerang kapak-kapak belum melewati baku mutu, yakni lebih kecil 1,0 mg/kg bagi Cd dan lebih kecil 1,5 mg/kg untuk Pb. Meski demikian, penelitian tersebut menemukan adanya korelasi antara tingginya pencemaran air dan sedimen dengan kenaikan akumulasi logam berat pada kerang kapak-kapak. Jika pencemaran berlanjut, hanya soal waktu, kerang kapak-kapak di Kepulauan Seribu tak bisa lagi dikonsumsi sebagaimana kerang hijau yang dibudidayakan di pesisir Teluk Jakarta. Studi yang dilakukan Fitri Budiyanto, Lestari, dan Fahmi dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI juga menemukan adanya konsentrasi merkuri dalam daging dan hati dari empat spesies ikan pari yang ditangkap di Teluk Jakarta dengan konsentrasi sebesar 0,633 mg/kg. Empat jenis ikan pari tersebut adalah Himantura walga, Neotrygon kuhlii, Himantura gerrardi, dan Himantura uarnacoides. Meski tingkat kandungannya masih aman untuk dikonsumsi, berdasarkan standar pemerintah 1 mg/kg, pencemaran ini patut diwaspadai. Konsumsi berlebih ikan pari akan mengakumulasi logam berat merkuri dalam tubuh.
Arus Laut
Menurut peneliti bidang Oseanografi pada Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautandan Perikanan, Widodo Pranowo, karakter sirkulasi arus Teluk Jakarta turut memengaruhi tingginya sedimentasi dan akumulasi pencemaran di perairan ini. ”Sirkulasi arus Teluk Jakarta berpola bolak-balik dengan kecepatan rendah,” ujarnya. Kondisi itu menyebabkan segala material seperti polutan yang terangkut oleh sungai ke Teluk Jakarta akan tertinggal lama sebelum dibawa keluar. Dari penelitian kami, material polutan terakumulasi sepanjang pesisir Teluk Jakarta,” ucapnya. Pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta, kata Widodo, akan meningkatkan konsentrasi polutan, termasuk logam berat. ”Kecepatan arus yang keluar dari muara sungai akan menurun. Pada akhirnya hal itu akan menyebabkan sedimentasi makin menumpuk dan ini artinya meningkatkan konsentrasi zat pencemar,” ujarnya. Widodo menambahkan, mangrove seharusnya mereduksi logam berat yang terakumulasi di pantai. ”Apabila menilik rencana reklamasi dan konsep tanggul laut raksasa Teluk Jakarta, keberadaan mangrove dikawatirkan hilang. Maka logam berat di Teluk Jakarta akan makin tak tertangani,” ujarnya. (AIK).