MONGABAY, 3 November 2016. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan alarm bagi investor yang ingin mereklamasi laut untuk kepentingan kelompok. Kajian reklamasi dalam perspektif KPK di antaranya semua tahapan dan proses dilakukan mengacu semua peraturan, memperhatikan aspek lingkungan, mengedepankan sosial ekonomi, dan semua proyek reklamasi harus diinisiasi oleh pemerintah bukan swasta. Dua kasus rencana reklamasi yang diberi perhatian khusus dengan cara mengkajinya adalah reklamasi Teluk Jakarta dan Teluk Benoa, Bali. Dua orang peneliti menyimpulkan kedua rencana reklamasi ini akan memberi dampak buruk, hal ini disampaikan dalam Workshop Jurnalis Antikorupsi oleh KPK pada Selasa (1/11/16) di Denpasar.
Muslim Muin Ph.D, Ketua Kelompok Keahlian Teknik Pantai Institut Teknologi Bandung (ITB) memaparkan analisis berjudul Salah Kaprah Reklamasi Teluk Benoa dan Reklamasi-Giant Sea Wall (GSW) Jakarta. Peneliti 56 tahun ini menyebut reklamasi tak haram tapi manfaatnya tidak ada. “Katanya buat orang properti, kenapa harus mengalah apa juga manfaatnya buat negara. Sepertinya pemerintah mendukung dua reklamasi Jakarta dan Teluk Benoa. Sangat disayangkan,” serunya memulai penjelasan mengenai hal-hal teknis yang dipelajarinya dari rencana reklamasi kedua daerah ini. Reklamasi yang bermanfaat menurutnya dilakukan sejumlah negara. Misalnya di St Petersburg Rusia bangun tanggul atau sea wall untuk limpasan air laut. Namun dimulai dengan infrastruktur pemisahan dan pengelolaan air limbah dan air hujan. Sementara di Indonesia semua limbah cair masuk ke sungai. “Air hujan itu bersih, jadi musuh kalau dicampur dengan limbah rumah tangga dan industri,” jelas pria yang doktoralnya bidang ocean engineering di University of Rhode Island, USA ini. Jika sebuah teluk dinilai tercemar lalu direklamasi, menurutnya kadar polutan makin besar sementara airnya makin sedikit. Muslim mendorong sumber polutannya dikendalikan, bukan direklamasi. Palm Island di Dubai juga kerap dijadikan contoh kemegahan reklamasi tapi Muslim mengingatkan perairannya tak ada sungai. Contoh lain Netherland melindungi kota dari gelombang badai atau kenaikan permukaan air laut (storm surge) dengan tanggul. Muslim Muin menyebut masalah di Teluk Jakarta ada muara 13 sungai, dan penurunan level tanah (land subsidence). “Kita surga tapi hancur karena ekonomi. Kita kelihatan bodoh didikte pengusaha sawit. Yang bahaya 3000 meter kubik per detik dari 13 sungai kalau banjir, kalau direklamasi kan makin menghalangi,” lanjutnya. Air laut menurutnya kecil tapi tanahnya ambles. Sehingga solusinya perkuat saja tanggul sungai dan pantai. Jika reklamasi diteruskan, Jakarta harus membangun gaint sea wall. Masalah lain lagi menurutnya biaya operasional sangat besar, PLTU harus pindah, pelabuhan perikanan harus ditutup, nelayan harus pindah, Jakarta kehilangan sumber daya alam teluk, dan dampak lingkungan di daerah pengambilan urugan. Sementara rencana reklamasi Teluk Benoa menyebabkan tidal flushing melemah, akibatnya teluk menjadi daerah air tawar. Bukan estuari lagi dan mangrove mati. Arus laut juga akan melemah. “Arus laut melemah dan pelabuhan (Benoa) mati, berapa kerugianya. Mulut estuary akan tersumbat kecuali dikeruk rutin,” jelas Muslim Muin. Ide reklamasi di Teluk Benoa dan Jakarta juga orientasinya mencari laba dari keuntungan membuat pulau palsu. “Merusak marine conservation. Saya takut kalau di Bali, tolong distop, gak ada gunanya. Bali hancur, pariwisata Indonesia hancur,” tambahnya.
Widodo Pranowo, Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga menyimpulkan rencana reklamasi di Teluk Benoa berdampak pada risiko bencana alam dan ekosistem lingkungan. Reklamasi menurut definisi UU adalah kegiatan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya alam lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan, drainase. “Kalau diuntungkan hanya ekonomi, sudah melanggar UU. Izin lokasi oleh KKP hanya untuk melakukan Amdal. Kalau Amdal tak boleh ya sudah tak boleh dilakukan. Kalau iya keluar izin pelaksanaan,” ujarnya. Belum lagi risiko bencana alam terutama gempa bumi dan tsunami di Bali. Dari data dan analisisnya, pembangkit gelombang tsunami daerah Teluk dan Bali Selatan paling tinggi potensinya. Apalagi jika arus masuk dan hanya teramplifikasi di dalam kawasan teluk. “Masak buat pulau kecil untuk tempat tinggal orang di wilayah rentan?” kata Widodo.Saat ini ekosistem bakau masih bagus dan kondisi pasang surut laut sebagai bentuk keseimbangan. Ketika surut populasi burung bisa makan dan organisme laut ukuran mikro cukup berlimpah di Teluk Benoa.
Kajian dan Rencana Aksi KPK
Sebelumnya KPK membuat Deklarasi Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Sektor Kelautan bersama Kementerian Perikanan dan Kelautan 2014 lalu di Bali. Lalu menjadi agenda bersama 12 kementerian, lembaga dan 34 provinsi melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam Sektor Kelautan yang ditandatangani pada 19 Maret 2015. Laode Muhamad Syarief, Wakil Ketua KPK di Bali menyebut strateginya dengan pengkajian sistem terkait pengelolaan ruang laut dan sumberdaya kelautan. Melalui 3 fokus yakni penetapan batas ruang laut, penataan ruang laut, dan pengelolaan sumberdaya.
“Semua tahapan serta proses perizinan dan pelaksanaan reklamasi yang tak memenuhi ketentuan agar segera dihentikan. Tidak adil hidup itu, saya anak laut. Lahir di kampung, rumah dan jalanan laut. Tak ada yang bisa larang saya mau mancing, main karena public domain. Kalau reklamasi tak bisa begitu,” paparnya. Ia berharap semua kegiatan reklamasi yang sudah dilakukan, agar diambil langkah strategis sesegara mungkin untuk meminimalisir kerusakan lingkungan dan dampak sosial ekonomi yang timbul. “They have to stop, tak ada kebijakan gubernur bisa meniadakan UU. Banyak kampus yang membuat studi Amdal yang ala kadarnya sesuai pesanan inisiator yang mau reklamasi,” serunya. Pemerintah diminta mengambil tegas bagi pihak yang melanggar perundangan terkait reklamasi. Laode mengingatkan semua pihak harus melaksanakan arahan Presiden 27 April 2016 dalam rapat terbatas terkait reklamasi Teluk Jakarta. Persoalan mendasar titik kelemahan pengelolaan sektor kelautan terlihat dari regulasi, kelembagaan, dan tata laksana. Dari kajian KPK, ini sumber tindak pidana korupsi dan kerugian negara. Tahapan rencana aksi adalah membuat baseline membangun sistem data dan informasi terintegrasi. Kemudian strategic action menutup titik rawan korupsi, dan systematic action memperbaiki regulasi.
Pembenahan tata kelola kelautan baru tahap kajian. Misalnya analisis soal reklamasi. “Agar netral menggunakan kriteria umum kelaikan reklamasi. Karena banyak Amdal-amdalan. Kalau tak mengindahkan dan menimbulkan potensi jadi tak perlu dilanjutkan. Kalau DPRD Bali dan Gubernur Bali tak berani berpendapat pada proyek pembangunan di daerahnya, itu tak wajar. Aneh,” serunya menjawab pertanyaan soal keputusan rencana reklamasi Teluk Benoa yang hanya menunggu putusan Presiden Joko Widodo. Sementara soal penangkapan pelaku kongkalingkong di rencana reklamasi, ia mengakui sulit membuktikan suap. “Tangkap itu agak susah, syarat banyak. Ada perbuatan melawan hukum. Ini kajian dan sudah disampaikan ke presiden,” ujarnya. Suap memang paling umum tapi paling sulit dibuktikan karena harus dilihat atau harus tangkap tangan. Sepintarnya penegakan hukum, menurut Syarif selalu terhambat. Tertatih mengejar perkembangan. Peraturan selalu terlambat mengejar perkembangan masyarakat. Saat ini alat kajian adalah tabel monitoring kewajiban pengusaha bidang kelautan, kewajiban administrasi, keuangan, teknis, sosial, lingkungan, lainnya. Ini berkaitan dengan rendahnya retribusi sektor perikanan laut. Dianggap tak masuk akal dibandingkan panjang laut Indonesia.
Menurut sarjana hukum dari Universitas Hasanudin ini, negara hanya mendapat Rp2,3 triliun dari usaha penangkapan ikan. Kurang dari 1%. Padahal salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Sementara jumlah izin pemilik kapal per Januari 2015 sebanyak 2036, yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) hanya 66%. Dandhy Laksono, pembuat sejumlah video dokumenter lingkungan mengingatkan media makin sulit mengungkap realitas kejahatan lingkungan salah satunya karena terperangkap kelindan bisnis media dan pemiliknya. Dari statistik yang dikutipnya biaya iklan meningkat dari Rp41 triliun (2008) menjadi Rp155 triliun (2014). Kemudian konglomerasi media, tercatat sedikitnya 12 pengusaha memiliki 500an media.
Disadur Sesuai Sumber Asli: Mongabay, November 3, 2016 Luh De Suriyani, Denpasar