Tag: widodo pranowo

KOMPAS: Pemindahan Ibu Kota, Momentum Benahi Perencanaan Jakarta

KOMPAS Cetak, Kamis, 06 Juli 2017

IPTEK, LINGKUNGAN & KESEHATAN

KOMPAS Cetak, Kamis, 06 Juli 2017 (Reporter: Ahmad Arif)

JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta bisa menjadi momentum untuk membenahi perencanaan kota ini. Dengan wacana pemindahan ibu kota, konsep proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara yang target utamanya mengamankan Jakarta sebagai ibu kota negara harus ditinjau ulang.

”Rencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta menjadi bertentangan dengan proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau yang lebih dikenal dengan NCICD,” kata Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo Pranowo, di Jakarta, Rabu (5/7). Widodo mengatakan, jika rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke kota lain bakal dimulai 2018 dan diprediksi memakan waktu tiga tahun, estimasinya harus selesai pada 2020 atau 2021. Padahal, cetak biru NCICD yang telah diperbarui pada akhir 2016 salah satunya menyiapkan ”Tahap D” yang bersifat mendesak dan harus dilaksanakan adalah periode 2017-2019. Tahap D berupa pembangunan tanggul pantai sepanjang 20,1 kilometer, drainase, pompa, dan pintu air yang diperkirakan menyedot anggaran Rp 3,7 triliun.

Read More KOMPAS: Pemindahan Ibu Kota, Momentum Benahi Perencanaan Jakarta

Peneliti Pusris Kelautan Beri Ceramah Di Sesko TNI Dikreg XLIV / 2017

Photo Courtesy: SESKO TNI

Pusris Kelautan – Jakarta 20 Juni 2017. Markas Komando Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia atau yang dikenal dengan Sesko TNI di Kota Bandung, pada hari Senin, 19 Juni 2017 kembali melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Untuk kedua kalinya peneliti Pusat Riset Kelautan Dr. Widodo Pranowo berkesempatan memberikan kuliah mata pelajaran Teknologi Kelautan kepada Siswa Sesko TNI.

Read More Peneliti Pusris Kelautan Beri Ceramah Di Sesko TNI Dikreg XLIV / 2017

KOMPAS: Dampak Lingkungan, Bencana Mikroplastik di Depan Mata

KOMPAS Cetak, Senin, 12 Juni 2017

IPTEK, LINGKUNGAN & KESEHATAN

KOMPAS Cetak, Senin, 12 Juni 2017 (Reporter: Ahmad Arif)

Berawal dari perilaku membuang sampah plastik sembarangan, lautan kini menuju sekarat. Plastik yang terurai hingga berukuran makro dan nano mencemari lautan, termakan ikan, dan meracuni manusia. Tanpa upaya serius, hanya soal waktu kita tak akan bisa lagi mengonsumsi ikan laut.

Secara kasatmata, kita bisa melihat sampah plastik memenuhi sungai dan lautan, terutama di perairan dekat penduduk, seperti Laut Jawa. Bahaya tak kasatmata dipicu praktik buruk buang sampah berupa cemaran partikel plastik mikro atau nano di lautan. Plastik mikro (microplastics) ialah partikel plastik diamater kurang dari 5 milimeter (mm) atau sebesar biji wijen hingga 330 mikron (0,33 mm). Plastik nano (nanoplastics) ukuran lebih kecil dari 330 mikron. Partikel itu bisa dari plastik didesain ukuran mikroskopis, biasanya untuk pembersih wajah dan kosmetik. Selain itu, plastik mikro ataupun nano, terutama dari sampah plastik ukuran besar, terurai proses alam. Material modern, seperti tekstil sintetis, tali, pipa, dan cat, juga mengandung plastik mikro. Masalahnya, plastik itu tak bisa luruh butuh puluhan sampai ratusan tahun. Begitu partikel itu masuk tubuh organisme, terakumulasi di jaringan tubuh, dan meracuni organ hati. Di lautan, plastik mikro dan nano yang termakan ikan atau menempel di karang terakumulasi di rantai makanan. Makin besar ikan predator, kian tinggi potensi cemaran plastik mikronya. Jika itu dimakan, tubuh kita tercemar partikel plastik. Dalam partikel plastik itu terkandung bahan kimia berbahaya, seperti PCBs, DDE, nony- lphenols/NP dan logam berat bersifat karsinogenik pemicu kanker. Jadi, cemaran plastik di organisme itu berbahaya bagi kesehatan manusia. Riset bersama Universitas Hasanuddin dan University of California Davis (2014 dan 2015) menemukan cemaran plastik mikro di saluran pencernaan ikan dan kerang yang dijual di tempat pelelangan ikan terbesar di Makassar, Sulawesi Selatan. Hasil riset dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional, Nature, September 2015. ”Sepertiga sampel atau 28 persennya mengandung plastik mikro,” kata Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, Akbar Tahir, yang juga menjadi anggota tim peneliti. Ada 76 ikan yang diteliti kandungan plastik mikronya dari 11 jenis ikan berbeda. ”Dari ikan teri sampai tongkol tercemar. Untuk teri, dari 10 ekor, 4 ekor tercemar plastik,” kata Akbar. Kebanyakan plastik mikro di tubuh ikan berbentuk fragmen. ”Selain bersifat karsinogenik, plastik bentuk fragmen berbahaya karena tajam sehingga merusak pencernaan,” ujarnya.

Bom waktu

Temuan plastik mikro pada ikan di pasar di Makassar menunjukkan tingginya pencemaran plastik di laut kita. Riset terbaru, dilakukan Noir Primadona Putra dari Departemen Kelautan Universitas Padjadjaran Bandung dan Agung Yunanto dari Balai Riset dan Observasi Laut Denpasar, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengonfirmasi hal itu. Noir meneliti cemaran sampah di sekitar Pulau Biawak, Indramayu, Jawa Barat. Total sampah dikumpulkan di pulau itu 68 kilogram yang dikumpulkan dari garis pantai sepanjang 655 meter atau 1 kg per 9,6 meter panjang pantai. Untuk mikro plastik 0,08 per 1 kg. ”Mayoritas sampah berupa busa styrofoam dan plastik,” ujarnya. ”Karena Pulau Biawak tak berpenghuni, pencemaran plastik dari daratan sekitar, kemungkinan pesisir Jawa,” ucapnya. Di 46 lokasi lain di Laut Jawa, Kepulauan Seribu, dan perairan Banten ditemukan tingkat cemaran plastik tinggi. Pencemaran sampah plastik, baik makro maupun mikro, menurut riset Agung, meluas di perairan Indonesia. Sejumlah perairan yang diteliti Agung antara lain Selat Bali, Selat Makassar, dan Selat Rupat di Dumai. Lokasi lain yang diteliti meliputi perairan Taman Nasional Taka Bonerate di Flores, Taman Nasional Bunaken, dan Taman Nasional Bali Barat. ”Semua lokasi itu tercemar plastik mikro. Bahkan, perairan dalam yang terisolasi, seperti Laut Banda, pun tercemar,” kata Agung. Pencemaran plastik mikro di Bunaken 50.000-60.000 partikel per kilometer persegi (km2), Laut Sulawesi 30.000-40.000 partikel per km2, dan Laut Banda 5.000-6.000 partikel per km2. ”Pengukuran di Laut Banda melalui ekspedisi Kapal Barujaya 8 pada 2016. Ada banyak sekali plastik mikro,” ujarnya. Ada empat jenis plastik mikro ditemukan, meliputi plastik tipis, fragmen (bagian plastik hancur), fiber (serat), dan pelet (bijih plastik atau butiran). Sebagian pencemaran plastik itu bukan dari Indonesia, tetapi terkirim lintas negara. Menurut temuan Noir, sebagian sampah plastik di Pulau Biawak dari Singapura dan India, selain Kalimantan, Semarang, dan Batam. Identifikasi itu bersumber dari merek botol atau gelas plastik.

Dengan memodelkan arus laut, Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan KKP Widodo Pranowo memaparkan, cemaran plastik mikro di Laut Jawa sebagian dari Samudra Pasifik puluhan tahun lalu. ”Pola arus arlindo membawa massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melalui Indonesia,” ujarnya.

Read More KOMPAS: Dampak Lingkungan, Bencana Mikroplastik di Depan Mata

KOMPAS: Laut Jawa Kian Tercemar, Sampah Plastik Rentan Termakan Ikan

KOMPAS, Jumat, 9 Juni 2017, Halaman 14.

IPTEK LINGKUNGAN & KESEHATAN

KOMPAS, JUMAT, 9 JUNI 2017

JAKARTA, KOMPAS — Pencemaran sampah plastik di Laut Jawa amat  mengkhawatirkan. Selain sampah plastik berukuran makro,  ditemukan plastik ukuran mikro  yang bisa termakan dan terakumulasi dalam  tubuh ikan. Untuk itu, pencemaran sampah plastik di perairan harus segera  diatasi.

Riset terbaru yang  dilakukan Noir Primadona Putra dari Departemen Kelautan Universitas Padjadjaran, Bandung, menemukan tingginya volume  sampah di sekitar Pulau  Biawak,  Indramayu, Jawa Barat.  Volume  sampah yang  dikumpulkan mencapai 68 kilogram,  dari   garis   pantai sepanjang 655 meter atau  1 kg per 9,6 meter panjang pantai. ”Dari sampah ini, sebagian besar  berupa busa  styrofoam dan berikutnya  plastik,” ucap   Noir, Kamis  (8/6), di Jakarta. Volume sampah mikro plastik mencapai 0,08 per 1 kg. Penelitian di 46 lokasi  lain  di Laut  Jawa, di sekitar Kepulauan Seribu dan perairan Banten, juga ditemukan  tingkat pencemaran plastik tinggi. ”Hal paling  berbahaya sebenarnya cemaran plastik mikro.  Sebab,  itu  bisa  di makan ikan,  lalu terakumulasi ke jaringan tubuhnya,” ujarnya.

Temuan itu  menguatkan riset yang  dilakukan Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, yang  dirilis di jurnal Science, tahun 2015, bahwa Indonesia termasuk  negara kedua  terbesar penyumbang sampah ke lautan setelah China.  To- tal   limbah  yang  telah dibuang Indonesia ke laut  3,2 juta  ton.

Noir menjelaskan, untuk sampah plastik ukuran makro (di atas 2,5 cm), banyak yang berasal dari Semarang  dan   Kalimantan, selain  dari  Batam,  bahkan Singapura dan India. Analisis asal-usul itu berdasarkan asal merek lokal yang tertera pada  botol  kemasan plastik. ”Untuk merek yang  ditemui  secara nasional, sulit   dikenali asal-usulnya,” ucapnya.

Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan  Perikanan Widodo Pranowo menambahkan, berdasarkan pola arus  laut,  sumber pencemaran sampah plastik makro umumnya dari lokasi  daratan di dekatnya. ”Secara  kasatmata, kita bisa melihat tingginya pencemaran plastik di Laut Jawa. Jika dari Jakarta mau ke Pulau Seribu, kapal berhenti sampai tiga kali karena tersangkut sampah plastik. Kondisi ini  amat mengkhawatirkan,” ujarnya.

Read More KOMPAS: Laut Jawa Kian Tercemar, Sampah Plastik Rentan Termakan Ikan