Trubus.id | Home > Plant & Nature | 23 Februari 2018 | Reporter: Binsar Marulitua
Trubus.id — Hampir tiga perempat bagian atau lebih dari 70 persen permukaan bumi merupakan kawasan laut. Tanpa sadar, plastik yang digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, akan berakhir di kawasan sekitar laut, pecah menjadi bagian paling kecil atau mikroplastik. Benarkah jika manusia berkontribusi pada kehancuran biota laut?
Menurut Peneliti Oseanografi Pusat Riset dan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Dr. Widodo Pranowo, plastik menjadi serpihan dengan ukuran kurang dari lima milimeter karena faktor panas, gelombang, sinar ultraviolet, dan bakteri. Tidak hanya plastik dalam bentuk makro yang terdegradasi, limbah cair rumah tangga yang langsung digelontorkan ke sungai dan berakhir di laut tanpa diolah oleh Industri Pengelolaaan Air Limbah (IPAL), turut memperburuk kondisi mikroplastik di perairan Indonesia. “Karena mikroplastik juga banyak terdapat di deterjen, sabun muka, sabun cair, dan sampo. Berbentuk bintil-bintil mungil yang berfungsi sebagai scrub,” jelas Widodo kepada Trubus.id, Jumat (23/2).
Dikatakan Widodo, kondisi laut Indonesia saat ini berada dalam tahap cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bersama Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung sampai tahun 2017, kawasan yang tercemar laut mikroplastik, rata-rata dekat dengan sebaran konsentrasi permukiman penduduk, terutama di Pulau Jawa, seperti perairan Pulau Biawak di Indramayu, Kepulauan Seribu, dan Perairan Banten.
Akan tetapi, perkiraan cemar mikroplastik tersebut tidak bisa menjadi alat ukur yang pasti lantaran sulit dibuktikan secara kasat mata. Peneliti Balai Riset dan Observasi Laut KKP, Dr. Agung Yunanto juga menemukan pencemaran di Selat Makassar, Selat Bali, Selat Rupat, Taman Nasional Laut (TNL) Taka Bonerate Flores, TNL Bunaken, TNL Bali Barat, dan bahkan Laut Banda.
“Bila suatu perairan banyak sampah plastik makroplastik, maka akan berpotensi juga tercemar sampah mikroplastik. Untuk penelitian, diperlukan waktu dan dana yang besar, jadi kemungkinan di tempat lain juga banyak. Sementara, di Bunaken yang terparah, dengan estimasi 50 hingga 60 ribu partikel per kilometer persegi,” tambahnya.
Widodo menambahkan, hasil penelitian KKP juga mendata tingkat cemar mikroplastik di beberapa daerah, seperti Bunaken 50 hingga 60 ribu partikel per kilometer persegi. Laut Sulawesi antara 30 sampai 40 ribu partikel per kilometer persegi, dan Laut Banda sekitar 5 hingga 6 ribu partikel per kilometer persegi. “Walaupun kandungan mikroplastik di Laut Banda sedikit, ada kemungkinan bisa lebih tinggi karena data tersebut merupakan hasil sampling saat kapal riset Baruna Jaya VIII LIPI berlayar. Sedangkan, arus di Laut Banda cukup dinamis. Mungkin saja banyak mikroplastik yang terbawa arus dengan cepat,” jelasnya.
Perlu Trubus Mania ketahui, teknologi pengelolaan sampah telah berkembang sangat maju. Saat ini, sampah bisa dijadikan sumber energi. Begitu juga dengan air limbah, yang ketika diolah, layak diminum. Namun, kunci utama untuk mengatasi persoalan sampah adalah perubahan prilaku dan kesadaran untuk mengelola sampah, dimulai dari sumbernya, yakni manusia.
Dampak Terhadap Manusia dan Biota Laut
Mikroplastik hadir di berbagai macam kelompok yang sangat bervariasi dalam hal ukuran, bentuk, warna, komposisi, massa jenis dan sifat lainnya. Ada banyak hewan laut yang menjadi korban dari limbah akibat rasa acuh manusia. Buruknya, hewan laut juga dikonsumsi manusia.
Widodo menambahkan, mikroplastik dapat dikonsumsi secara tidak sengaja oleh spesies tingkat trofik rendah sekaligus dapat berpindah ke spesies tingkat trofik yang lebih tinggi melalui rantai makanan. Mikroplastik yang tertelan oleh organisme akuatik, dapat menyebabkan masalah dalam tubuh organisme, mulai dari penyumbatan pencernaan hingga kematian. “Mikroplastik bersifat karsinogenik, berbahaya kalau terakumulasi manusia. Terlebih, wilayah Jawa memiliki 712 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Profesor Akbar Tahir dari UNHAS Makasar sudah menemukan ikan teri dan tongkol yang tercemar mikroplastik di pasar Makasar,” tambahnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Pusat Oseanografi, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Dirhamsyah. Penelitian di UNHAS menyebutkan ikan-ikan yang disampling, mengandung mikroplastik dan nano plastik.
“Kalau di dalam perut ikan, mungkin tidak masalah karena jika mengonsumi ikan, perutnya ikan dibuang. Nah, yang jadi masalah adalah racun tersebut masuk ke daging dan darahnya,” jelas Dirhamsyah. Akan tetapi, LIPI sendiri masih menyempurnakan penelitian mengenai pengaruh mikroplastik dalam darah hewan laut. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) akan melakukan penelitian lebih lanjut hingga tahun 2019. “Mengenai pengaruh mikroplastik pada biota laut, lingkungan, serta pada kesehatan manusia. Mudah-mudahan, tahun 2019 sudah selesai,” harap Dirhamsyah.
Ia menambahkan, pada dasarnya, laut secara alami mengandung beberapa logam yang membahayakan. Mikroplastik terbawa ombak, menempel di terumbu karang dan secara langsung membuat karang mati serta ikan mati. “Plankton memakan mikroplastik. Lalu, plankton tersebut dimakan ikan kecil yang ternyata juga menelan mikroplastik. Nah, ikan kecil tersebut menjadi mangsa ikan besar yang rupanya juga mengonsumsi mikroplastik,” tambahnya. Begitu juga dengan penyu. Dirhamsyah mengatakan hewan tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan ubur-ubur sebagai makanannya dengan plastik. Akibatnya, saluran pencernaan akan kacau karena usus terobek plastik dan penyu terancam mati.
Upaya Identifikasi Mikroplastik
Indonesia merupakan penghasil sampah plastik nomor dua terbesar di dunia setelah Tiongkok. Untuk mengkaji lebih dalam tentang mikroplastik di lautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan upaya identifikasi, salah satunya riset pemodelan komputer untuk mensimulasikan hidrodinamika dan transpor mikroplastik, tepatnya di perairan sekitar Pulau Biawak, Indramayu.
Widodo menjelaskan, hidrodinamika dari kata hidro artinya air. Dalam kasus ini berarti air laut. Sementara, dinamika artinya pergerakan. Jadi hidrodinamika adalah pergerakan massa air laut. Bisa direpresentasikan sebagai pergerakan arus laut. Yang dimaksud dengan pemodelan komputer hidrodinamika dan transpor sampah mikroplastik adalah riset melakukan simulasi menggunakan komputer. Mensimulasikan bagaimanakah pola pergerakan mikroplastik dibawa oleh arus selama 7 bulan.
“Dalam periode 7 bulan tersebut, sampai sejauh mana mikroplastik dapat tertransporkan atau terangkut oleh arus laut. Nah, arus laut ini dibangkitkan oleh tenaga pasang surut muka laut dan dorongan angin terhadap muka laut,” jelasnya.
Widodo menuturkan, berdasarkan hasil simulasi dapat diketahui bahwa mikroplastik di Laut Jawa menempuh jarak maksimum sejauh 5 hingga 6 kilometer yang ditempuh selama 6 bulan. Jadi, pergerakannya terbawa arus sangat lamban. Mikroplastik yang semula berada di lapisan permukaan laut selama 6 bulan tersebut kemudian tersebar hingga kedalaman maksimum 50an meter. Penelitian ini dilaksanakan pada Februari hingga Maret 2017. Area penelitian berada di perairan Laut Jawa dengan koordinat 5,80 LS – 6,40 LS dan 1080 BT – 108,80 BT. Pengolahan data dilakukan di kantor Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia KKP, Jakarta Utara.
“Metode penelitian yang digunakan di penelitian ini adalah pemodelan numerik hidrodinamika dan trayektori partikel. Visualisasi dari hasil pemodelan digunakan dalam proses pendeksripsian pola sirkulasi arus, propagasi muka air laut, dan trayektori partikel mikroplastik,” jelas Widodo.
Simulasi Hydrodynamic dilakukan untuk mengetahui kondisi hidrodinamika wilayah kajian. Simulasi Particle Tracking dilakukan sebanyak tiga kali dengan hypothetical source berbeda, kemudian didapatkan nilai error. Nilai error dapat dihitung dengan mengukur jarak antara posisi akhir partikel hasil simulasi dengan posisi mikroplastik yang ditemukan. Selanjutnya, Hypothetical Source dengan nilai error terkecil dapat dijadikan estimasi titik awal pergerakan mikroplastik. “Perlu adanya penambahan waktu simulasi, minimal satu tahun untuk benar-benar mengkaji transpor mikroplastik di Laut Jawa. Selain itu, diperlukan penelitian mengenai akumulasi mikroplastik di dalam perut ikan yang ditangkap di Laut Jawa untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh sampah mikroplastik terhadap perairan Laut Jawa,” tambahnya.
Langkah Konservasi
Sementara itu, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut (KKP) Andi Rusandi mengatakan, KKP menargetkan memiliki kawasan konservasi seluas 20 juta hektare pada 2020. Hal ini sebagai langkah nyata untuk mengimplementasikan Coral Triangle Initiative (CTI) sekaligus perlindungan laut dari sampah plastik.
Dikatakan Andi, dari target itu sudah terealisasi sebanyak 13 juta hektare. Sebelumnya,KKP sudah meresmikan Kawasan Konservasi Perairan di Nusa Penida, Provinsi Bali. Itu dilakukan untuk melindungi kekayaan kehidupan laut dan pesisir, serta mendorong keberlanjutan pariwisata bahari dan perikanan guna menjamin sumber mata pencaharian masyarakat Nusa Penida. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, Perairan Nusa Penida seluas 20.057 hektare sudah dijadikan sebagai kajian ekologi laut yang dilakukan sejumlah pakar kelautan dunia seperti, Emre Turak dan Gerry Allen pada 2009. Hasilnya, ada 296 jenis karang dan 576 jenis ikan, di mana lima di antaranya merupakan spesies ikan baru.
Berdasarkan survei TNC Indonesia Marine Program, Perairan Nusa Penida menyimpan 1.419 hektare terumbu karang, dan 230 hektare hutan mangrove dengan 13 jenis mangrove. Saat ini, kawasan konservasi itu sudah pada tahap pembuatan zonasi, perencanaan pengelolaan jangka panjang, pembentukan badan pengelola, dan mekanisme pendanaan jangka panjang untuk kemudian ditetapkan melalui Peraturan atau Surat Keputusan Menteri.
Pembentukan konservasi tersebut merupakan kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Klungkung Bali, beserta masyarakat Nusa Penida, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta The Nature Conservancy (TNC) Indonesia Marine Program dengan didukung oleh USAID – Coral Triangle Support Partnership.
“Di samping Kawasan Konservasi Nusa Penida, KKP telah berhasil menyiapkan perangkat regulasi, SDM serta blue print dan road map pengelolaan kawasan konservasi TNP Laut Sawu seluas 900 ribu hektare, sesuai dengan target tahun ini,” kata Andi. [DF]