JAKARTA, KOMPAS.com — Tanggul laut raksasa akan mulai dibangun Kamis (9/10) besok. Pengerjaan ini diawali dengan membangun tanggul tipe A sepanjang 32 kilometer dari barat hingga timur pesisir utara Jakarta. Proyek tanggul ini ditargetkan rampung dalam waktu tiga tahun.
Tanggul tipe A bagian dari megaproyek tanggul laut raksasa yang disebut juga sebagai proyek Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, kajian NCICD tipe A sudah selesai. ”NCICD tipe A sudah tidak memerlukan kajian ulang karena ada di bagian dalam. Yang masih perlu dikaji ulang adalah NCICD tipe B, yang berbentuk seperti garuda itu,” kata Basuki, Selasa (7/10), di Jakarta.
NCICD tipe A merupakan bagian dari proyek NCICD yang mencakup peninggian dan penguatan tanggul laut di pantai utara sepanjang 32 kilometer dan pemasangan stasiun pompa. Pemprov DKI Jakarta mendapat bagian membangun 8 kilometer. Alokasi dana yang disiapkan sebanyak Rp 1,6 triliun dari dana APBD 2015.
Basuki menjelaskan, pemasangan tiang pancang (ground breaking) NCICD tipe A akan dimulai di sisi timur Waduk Pluit. Warga yang masih menghuni lokasi tersebut akan dipindahkan ke sejumlah rumah susun, seperti di Muara Baru, Daan Mogot, atau di Luar Batang.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Andi Baso mengatakan, tanggul yang akan dibangun di sisi timur Waduk Pluit menempel di daratan, tidak di perairan.
”Pengerjaannya dibagi-bagi, sesuai tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab pemerintah dibagi dua, pusat dan provinsi. Adapun tanggung jawab pengembang, ya, pengembang yang mengerjakan. Kalau swasta, ya, swasta,” ujarnya.
Kritik dapat diakomodasi
Menurut Andi, NCICD ini sangat diperlukan untuk menyelamatkan Jakarta dari bencana hidrologi. Menanggapi kritik tentang kerusakan ekosistem, dia mengatakan, setiap orang berhak berpendapat, bergantung pada cara melihatnya.
Senada dengan Andi, Deputi Gubernur DKI Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Sarwo Handayani mengatakan, sosialisasi proyek ini masih kurang. Ia memahami kritik yang masuk dari berbagai pihak. Kritik tersebut dijadikan masukan berharga untuk perencanaan proyek. Dalam waktu dekat, Pemprov DKI berencana menggelar dialog dengan mengundang pakar dan pemangku kepentingan.
”Kami memaklumi kritikan dan masukan yang ada. Kami berusaha mengakomodasi, sejauh itu memungkinkan untuk perbaikan. Semua itu kami anggap sebagai konsekuensi demokrasi di Indonesia,” kata Handayani.
Desain teknis tanggul laut raksasa dibuat dengan bantuan tenaga ahli dari Belanda. Selain itu, tim ahli dari Indonesia juga terlibat membantu menajamkan desain. Konsep ini juga dibandingkan dengan tanggul laut di sejumlah negara yang memiliki proyek serupa.
Solusi teknik
Ahli hidrologi dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali, berpendapat, tanggul laut raksasa menjadi salah satu solusi mengurangi dampak buruk akibat penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut. Penurunan tanah rata-rata 10 sentimeter per tahun, sementara muka air laut naik 5-6 milimeter per tahun.
Menurut Firdaus, elevasi muka tanah di Jakarta Utara relatif rendah, bahkan beberapa lokasi berada 1,87 meter di bawah permukaan air laut. Tanggul menjadi alternatif teknik menekan risiko bencana hidrometeorologi.
”Biaya pembangunannya relatif tinggi, bisa mencapai Rp 400 triliun atau lebih, tetapi fungsinya bisa dikombinasikan untuk infrastruktur perkotaan dan waduk lepas pantai. Selain itu, keberadaannya juga bisa menambah air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga,” katanya.
Keberadaan tanggul laut berpotensi mengubah ekosistem di Teluk Jakarta dari air asin menjadi air tawar. Selain itu, ada potensi sedimentasi. Namun, desain tanggul laut telah mempertimbangkan faktor tersebut.
”Saya menyarankan ke pemerintah bahwa NCICD dengan tanggul laut raksasa harus terintegrasi mulai dari hulu ke hilir. Bukan hanya di hilir. Integrasi itu termasuk pengendalian beban limbah padat dan cair yang masuk ke Teluk Jakarta,” kata Firdaus.
Salah satu hal penting yang harus dilakukan di hulu adalah menekan sedimentasi. Saat ini sedimentasi dari 13 sungai besar yang mengalir di Jakarta mencapai 87 ton per hektar per tahun. Padahal, angka sedimentasi maksimum yang bisa ditoleransi sebesar 20 ton per hektar per tahun.
Jika angka sedimentasi tak dapat dikendalikan, percuma saja membendung air laut di Teluk Jakarta. Dampaknya kualitas air memburuk sehingga tidak dapat dipakai sebagai air baku.
Menanggapi masukan Firdaus, Handayani menilai pembenahan kawasan hulu adalah bagian keseluruhan dari rangkaian proyek. Hal itu sudah menjadi bagian dari rencana menyeluruh pembangunan proyek tersebut.
Tanggul tipe A menjadi cikal bakal pembangunan tanggul tipe B. Selama pembangunan tanggul tipe A akan terus dievaluasi operasionalnya. Tanggul tipe B dibangun di wilayah laut dengan kedalaman minus 18-20 meter.
Bukan solusi terbaik
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelauatan dan Perikanan (KKP) Widodo Pranowo mengingatkan, rencana pembangunan ini harus dikaji lagi hati-hati antara manfaat dan dampaknya.
Menurut Widodo, kenaikan muka laut yang sering jadi alasan pembangunan tanggul ini tidak beralasan. ”Memang terjadi kenaikan muka air laut, tetapi tidak signifikan. Masalah di Jakarta adalah penurunan daratannya,” katanya.
Penurunan tanah ini, menurut Widodo, terjadi karena komplikasi sejumlah persoalan, mulai dari pengambilan air tanah berlebihan, kondisi geologi Jakarta yang terbangun dari sedimen, dan beban bangunan yang banyak.
Kritik juga disampaikan pakar kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin dan ahli kelautan Badan Pengkajian dan Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Widjo Kongko.
Sementara Muslim mengatakan, jika alasannya adalah untuk mengatasi banjir rob Jakarta, solusinya cukup dengan menanggul kawasan-kawasan tertentu di pesisir yang kebanjiran, seperti Pluit.
Berisiko tinggi
Widodo mengatakan, dari kajian yang dilakukan KKP, proyek ini akan berdampak ekologis sangat besar, bukan hanya terhadap kawasan pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu, tetapi juga ke pesisir Banten.
”Dari hasil pemodelan ditemukan bahwa arus di dalam tanggul sangat kecil. Jika kualitas air yang digelontorkan dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta buruk, sebagaimana kondisi sekarang, tanggul ini bisa menjadi comberan raksasa,” kata dia.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, sedikitnya 16.855 nelayan Jakarta baik yang menetap ataupun pendatang, akan tergusur proyek ini. ”Di sisi lain persoalan banjir dan krisis air yang menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga Jakarta tetap tidak terjawab,” ujarnya.
”Dengan ongkos pemeliharaan Rp 1 triliun setiap tahun dan diambil dari uang negara, sesungguhnya pemerintah telah melakukan tindakan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi.” (FRO/MKN/NDY/AIK)
Editor : Ana Shofiana Syatiri
Sumber : KOMPAS – Rabu, 8 Oktober 2014 | 16:09 WIB