“I let my life flow into the ocean” | "Ngetutke ilining banyu" | Perjalanan seorang bocah yang takut dengan air karena pernah tenggelam di sungai namun dikemudian hari berkarir di sektor kelautan bidang oseanografi terapan.
Ratusan Perahu Selerek di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara terparkir rapi selama beberapa bulan belakangan ini lantaran sepi tangkapan ikan Lemuru, Rabu (28/9/2016). FOTO: Tribun Bali/ I Gede Jaka Santhosa.
TRIBUN-BALI.COM, NEGARA – Sepinya tangkapan ikan Lemuru di laut Kabupaten Jembrana, Bali dipastikan akan berlangsung hingga tahun 2017 mendatang. Hal tersebut terungkap saat Badan Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) Seacorm melangsungkan sosialisasi penerapan Ocean Health Index (OHI)atau Kesehatan Laut di Bali di BPOL Seacorm Desa Perancak, Kecamatan Jembrana, Rabu (28/9/2016) pagi.
Kepala Laboratorium di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP), Dr. Ing Widodo Setiyo Pranowo mengatakan berdasarkan data yang dikumpulkan pihaknya mulai tahun 2002 lalu, persebaran ikan Lemuru yang biasanya ramai di Selat Bali dan pesisir Bali Selatan kini mengalami perubahan. “Ketika terjadi El Nino ikan Lemuru ini justru meningkat di perairan Bali. Ketika La Nina justru berkurang atau menghilang sama sekali dari Selat Bali,” katanya. “La Nina tahun ini starting pointnya di Bulan Juni dan diprediksi akan berakhir pada Maret 2017 mendatang. Sehingga bisa dipastikan tidak ada ikan Lemuru lagi,” tandas Widodo pagi ini.
(I Gede Jaka Santhosa|Rabu, 28 September 2016 12:02)
Dr. Widodo Pranowo, memberikan sambutan pembukaan pada acara Workshop Sosialisasi Penerapan Ocean Health Index (OHI) di Bali. Berlangsung di Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL), Jembrana, 28 September 2016. (FOTO: BPOL)
Negara (Antara Bali) – Paceklik ikan jenis lemuru, yang merupakan habitat endemi di Selat Bali, diperkirakan akan berlangsung hingga bulan Maret 2017 akibat cuaca La Nina. Hal itu terungkap saat sosialisasi penerapan Ocean Health Index (OHI) atau Kesehatan Laut, yang diselenggarakan Balai Penelitian Dan Observasi Laut (Seacorm) di Desa Perancak, Kecamatan Jembrana, Rabu.
“Melihat data dari penangkapan lemuru beberapa tahun terakhir, kami analisa, saat terjadi El Nino hasil tangkap nelayan justru meningkat, sementara saat La Nina cenderung menurun atau bahkan ikan jenis itu menghilang dari Selat Bali,” kata Widodo S. Pranowo, dari Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Laut Dan Pesisir. Ia mengatakan, seberapa besar dampak La Nina terhadap hasil tangkap nelayan, tergantung kekuatan anomali cuaca tersebut, yang diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Oktober hingga November. Menurutnya, apa yang terjadi di Selat Bali terkait keberadaan ikan lemuru, juga terjadi di wilayah lainnya, sehingga ada kecenderungan nelayan penangkap ikan tuna mengarah ke sisi selatan samudera. “Logikanya, kapal-kapal penangkap tuna pasti mencari keberadaan ikan tersebut. Kapal-kapal itu saat ini mengarah ke sisi selatan samudera, yang kemungkinan besar ikan jenis tuna berada di sana,” ujarnya.
JAKARTA, KOMPAS — The National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) project, which is currently integrated with the reclamation project of 17 islands on Jakarta Bay, was created to provide solutions for a number of problems in the capital city, including land subsidence and flash floods. However, until now, some of these problems have only been handled partially.
The Coast and Sea Data Laboratory Head of the Marine and Fisheries Ministry’s Research and Development Body, Dr. Widodo Pranowo, gives a presentation as part of a brainstorm event on the Jakarta Bay reclamation at the Kompas newspaper office in Jakarta on Sept.16. Also in attendance were Bandung Institute of Technology (ITB) Environment Study Center Researcher Hesti D Nawangsidi, ITB Applied Geology Expertise Group Head Prof. Dr. Ir. Lambok Hutsoit MSc, Bogor Institute of Agriculture Fisheries and Marine Science Faculty’s Strategic Study Coordinator Alan F Koropitan PhD and Environmental Engineering researcher and lecturer at University of Indonesia Faculty of Engineering’s Civil Engineering Department and Indonesia Water Institute Executive Director, Dr. Firdaus Ali. [Kompas/LUCKY PRANSISKA]
This was one of the major points of the discussion held by Kompas in Jakarta on Friday (16/9/2016). Attending the discussion were Bandung Institute of Technology (ITB) applied geology research group head Lambok Hutasoit, Bogor Agricultural Institute (IPB) fisheries and maritime sciences faculty strategic research coordinator Alan Koropitan, Indonesia Water Institute executive director Firdaus Ali, ITB center for environmental studies researcher Hesti D Nawangsidi and Maritime Affairs and Fisheries Ministry marine and coastal data laboratory headWidodo Pranowo.
One highlight in the discussion was the construction of Phase A of the sea wall, which was the first of NCICD’s three phases. Alan Koropitan said that the construction project should be prioritized. According to Alan, the construction of the project and the implementation of sanitation and wastewater management systems can provide solutions for a number of problems in Jakarta, including land subsidence, flash floods and pollution and sedimentation in Jakarta Bay.
In the field, the reclamation islands’ construction is prioritized in Jakarta Bay, whereas Alan and Widodo said that the man-made islands would obstruct the flushing process of a number of potentially damaging chemical substances, including nitrogen, phosphate and DEET (diethyltoluamide).
Firdaus Ali agreed with the importance of the Phase A construction of the sea wall. However, he said that the construction project needed a huge amount of money. This is why private sector contribution in the form of social responsibility projects by the developers holding reclamation licenses is necessary.
Hesti D Nawangsidi, who has advised the Jakarta administration in the reclamation process since 1995, said that the total length of the Phase A sea wall was 120 kilometers, stretching from Tangerang in Banten to Bekasi in West Java. In Jakarta waters, the sea wall would be 98 kilometers long. “The financing is split between the Jakarta administration, the central government and private entities. Currently, the progress is partial,” she said.
Kompas reports show that 25 percent of the project is constructed by the central government through the Ciliwung-Cisadane Flood Control Office (BBWSCC), another 25 percent by the Jakarta administration and the remaining 50 percent by private companies. This share of responsibilities has been detailed clearly (Kompas, 8/6/2016).
Jakarta, 09 Agustus 2016. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyelenggarakan workshop pemaparan dari Prof. Dr. Yusaku Ohta dari Tohoku University, Jepang dengan tema “Penentuan Magnitudo Cepat dengan Data GPS”, yang bertempat di Auditorium. Turut diundang oleh BMKG, peneliti P3SDLP, Dr.-Ing. Widodo Pranowo untuk menghadiri workshop tersebut. Disamping itu, Widodo, berkesempatan juga bertemu dengan Dr. Sven Harig dan Antonia Imerz dari Alfred Wegener Institute for Marine and Polar Research (AWI), Jerman yang sedang memberikan training workshop simulasi numerik propagasi tsunami di Lantai 3 Gedung C, BMKG. Berempat, bersama dengan Tri Handayani, S.Si, berkesempatan untuk berdiskusi perkembangan terkini skenario simulasi basis data yang telah dimutakhirkan hingga akhir tahun 2015, dimana Widodo, terlibat sebagai reviewer.