Category: News

Kuliah Umum Prof. Dr. Stephan Zeeman (USA) dan Dr. Ing Widodo (KKP_RI)

Pada : Rabu, 11 Maret 2015 – 13:40:00 WIB

www.msdp.undip.ac.id Dalam rangka untuk peningkatkan ilmu dalam bidang pengideraan jauh beberapa hari yang lalu program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan mengadakan kegiatan kuliah umum dengan pembicara Prof. Stephan I Zeeman, Ph.D ( University of New Enland – USA) dan Dr.Ing. Widodo S Pranowo dari (Kementerian Kelautan dan Perikanan RI) serta Prof.Dr.Ir.Agus Hartoko, M.Sc selaku Ketua Program Studi S2 – Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro (Pakar Pengideraan Jauh dan SIG) adapun topik yang diangkat dalam kuliah umum ini mengenai “Penginderaan Jauh Guna Pemetaan Sumberdaya Perikanan”.

Acara ini sendiri selain di hadiri oleh mahasiswa baik S1,S2 dan S3 turut hadir pula pembantu dekan,dosen dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro serta dinas dari instansi terkait yang mana selain mendengarkan pemaparan dari para pembicara juga turut andil pada saat sesi tanya jawab.

 

Sumber: msdp.undip.ac.id – pada : Rabu, 11 Maret 2015 – 13:40:00 WIB

Kenaikan Muka Laut Indonesia 0,76 cm Per Tahun

KOMPAS CETAK, Kamis, 6 Februari 2014
Lingkungan & Kesehatan

Wilayah Pesisir

Jakarta, Kompas – Hampir seluruh pesisir di Indonesia mengalami kenaikan muka laut sedang hingga tinggi. Kenaikan tertinggi 0,76 sentimeter per tahun. Pada 25 tahun mendatang, muka air laut naik hingga 19 cm. “Kenaikan muka laut relativesebesar 0,73-0,76 cm per tahun. Ini tanpa memasukkan faktorland subsidence di daerah pantai,” kata Budi Sulistyo, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan peta kenaikan muka air laut, pelabuhan perikanan dalam kerentanan tinggi adalah Belawan, Sungai Liat, Bitung, Ternate, dan Ambon. Kenaikan muka air laut total tahun 2025 tertinggi diprediksi di Ambon, berkisar 1,02-3,07 meter, sedangkan terendah di Muara Baru (0,63-1,71 m). Selain itu tercatat 24 lokasi minapolitan juga rentan genangan, antara lain Jambi, Lampung, semua provinsi di Jawa, Kalsel, Sultra, Gorontalo, dan NTT. Ancaman dama dihadapi 4 lokasi sentra garam di Jawa, yaitu Cirebon, Indramayu, Rembang, dan Pati, di Madura (Pamekasan dan Sampang), dan Nagakeo, NTT.

Dampak dari kenaikan tinggi muka laut akan menyebabkan majunya garis pantai ke daratan sehingga dermaga pelabuhan perikanan dan penahan gelombang akan tergerus gelombang. Itu mereduksi kekuatan struktur bangunan di pantai. Menurut Kepala Kelompok Kerja Litbang Kebijakan Perubahan Iklim KKP Widodo Setiyo Pranowo, melihat kajian itu, Balitbang KP membangun sistem peringatan dini dampak kenaikan muka air laut terhadap Infrastruktur perikanan tangkap dan budidaya. “Selanjutnya dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak itu,” ujarnya.

Lewat indikasi kenaikan muka laut itu, kata Widodo, perlu pemantauan tinggi muka air laut dan kondisi infrastruktur perikanan tangkap dan budidaya secara berkala. Lalu, dilakukan penyesuaian terhadap struktur dan infrastruktur di sekitar pelabuhan. Pada 2015-2019 akan dibangun stasiun pengamatan oseanografi dan atmosfer untuk memantau dampak perubahan iklim. Stasiun pemantauan itu akan dibangun di Bintan, Derawan, Lombok, Bitung, dan Aceh. “Kami sedang melakukan studi di lokasi itu dan berkoordinasi dengan pihak terkait, baik di pusat maupun daerah,” ujar Budi.

Momsei, Pelayaran Ilmiah untuk Merekam Sinyal Upwelling

Majalah SAINS INDONESIA on Tuesday, 22 October 2013

Pelayaran ilmiah yang melibatkan tim peneliti dari Indonesia, China, dan Amerika Serikat (AS) difokuskan menangkap sinyal upwelling. Data yang didapat akan memperkuat basis data dan informasi kelautan dan iklim nasional.

Sinyal upwelling yang umumnya mulai terbentuk pada Agustus dan September, menjadi kesempatan bagi tim peneliti yang tergabung dalam pelayaran ilmiah “Monsoon Onset Monitoring & Its Social & Ecosystem Impacts (MOMSEI)” untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Dinamika monsun Asia-Australia menjadi salah satu kajian dalam penelitian ini karena berinteraksi dengan dinamika laut Indonesia yang berdampak pada ekosistem dan kondisi sosial di Indonesia.

Kondisi ekosistem didedikasikan kepada lingkungan laut yang mendukung perikanan. Selain itu informasi variabilitas monsun secara sosial dapat untuk mendukung kegiatan litbang garam,” kata Dr Budi Sulistyo, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP), Balitbang KP, kepada Majalah Sains Indonesia, belum lama ini. Ditambahkan Budi, pelayaran ilmiah kali ini melibatkan 16 peneliti yang berasal dari Balitbang KP (8 peneliti), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2 peneliti, The First Institut of Oceano-graphy, State Oceanic Administration PR China (FIO-SOA) 5 peneliti, dan Woods hole oceanographic Institution AS (1 peneliti).

Pelayaran ilmiah yang menggunakan Kapal Penelitian Baruna Jaya VIII milik LIPI ini berlangsung 10 hari (22 September-1 Oktober). Rute pelayaran diawali dari Pelabuhan Benoa Bali, Samudera Hindia Selatan Jawa dan berakhir di Muara Baru Jakarta. Dalam penelitian ini, tim peneliti akan mengukur_parameter konduktivitas, suhu laut, tekanan/kedalaman, kecepatan arus, meteorology, pengambilan sampel air untuk analisa nutrien, khlorofil, dan plankton. “Kami bersyukur, dalam penelitian ini mendapatkan pinjaman peralatan Video Plankton Recorder (VPR) secara gratis dari Woods Hole Oceanographiy Institution (WHOI) AS. Alat yang dilengkapi dengan kamera beresolusi tinggi dan berkecepatan tinggi ini sangat membantu dalam pemotretan jenis-jenis plankton yang ada di laut,” kata Dr Ing Widodo Pranowo, koordinator MOMSEI Indonesia.

Artikel selengkapnya bisa anda baca di Majalah SAINS Indonesia Edisi 22.

Sumber:  Majalah SAINS INDONESIA

Modellierung von Extremereignissen

Diberitakan Oleh VolskwagenStiftung Pada 31 Januari 2013

31. Januar 2013

Aus Anlass des vom 13. bis 15.2.2013 in Hannover stattfindenden Symposiums “Extreme Events” sprachen wir mit Mitorganisator Prof. Dr. Jörn Behrens von der Universität Hamburg, KlimaCampus, über die Chancen und Risiken der Modellierung von Extremereignissen.

Foto: privat

Foto: privat

Was verbirgt sich hinter dem Forschungsfeld “Modellierung von Extremereignissen”?

Die Projekte, die dieses Forschungsfeld auf dem Symposium “Extreme Events” Mitte Februar in Hannover vertreten werden, stellen diverse Aspekte sowohl der Modellierungsmethoden als auch der untersuchten Extremereignisse dar. So wird mit stochastischen Modellen das Auftreten von extremen Niederschlägen erklärt, mittels Laborexperimenten und Vergleichen mit mathematischen Modellen die Selbstentzündung von Lithium-Batterien studiert oder mit Hilfe gekoppelter deterministischer Computersimulationen die Ausprägung von extremen Tsunami-Ereignissen untersucht. Allen diesen Forschungsprojekten gemeinsam ist die Anwendung von mathematischen Modellen als Erklärungshilfe für extrem seltene Ereignisse mit extremen Auswirkungen.

Wer kann mit den Ergebnissen etwas anfangen und für welche Zwecke?

Der Nutzen dieser Forschungsprojekte ist so vielfältig wie die Projekte selbst. Nehmen wir z.B. das Erdbeben und den anschließenden Tsunami, der vor zwei Jahren in Japan verheerende Schäden angerichtet und sogar zur Atomkatastrophe von Fukushima geführt hat. Hier waren Fachleute überrascht vom Ausmaß des Erdbebens und der Wellenhöhe. Heute verstehen wir schon besser, welche Bruchmechanismen in der Erdkruste zu sehr großen Wellen führen. Das erlaubt uns genauere Projektionen, die wiederum der Gefahrenabschätzung, der Vorbereitung auf und dem Schutz vor solchen Ereignissen dienen.

Ein Ausschnitt aus einer Simulation des Tsunamis vom 26.12.2004. Zu sehen ist die Abweichung vom mittleren Wasserstand in Metern; der Ausschnitt zeigt die Situation knapp zwei Stunden nach dem auslösenden Erdbeben (Simulation: Widodo Pranowo und Jörn Behrens).

Ein Ausschnitt aus einer Simulation des Tsunamis vom 26.12.2004. Zu sehen ist die Abweichung vom mittleren Wasserstand in Metern; der Ausschnitt zeigt die Situation knapp zwei Stunden nach dem auslösenden Erdbeben (Simulation: Widodo Pranowo und Jörn Behrens).

Wie präzise können Vorhersagen über Katastrophen wie Erdbeben oder Tsunamis auf Grundlage der Computermodelle gemacht werden?

Die Vorhersage von Erdbeben wird auch in absehbarer Zeit nicht möglich sein. Allerdings erlauben uns die neuen Modelle eine deutlich verbesserte Abschätzung des potentiellen Verhaltens. Denn jetzt können mehr relevante Prozesse in der Simulation berücksichtigt werden, beispielsweise die Bruchmechanik in der Erdkruste, die Wellenausbreitung in der Wassersäule und die Auflaufprozesse an Land. Doch kommt es nicht nur darauf an, das einzelne Ereignis genau zu berechnen, sondern auch die Eintrittshäufigkeit abzuschätzen. Auch hier ist die Modellierung hilfreich, da sie uns eine Art virtuelles Labor zur Verfügung stellt, mit dem wir viele solcher Extremereignisse im Modell erzeugen können.

Welche Hürden gibt es bei der Modellierung von Extremereignissen?

Die Schwierigkeiten sind immer noch vielfältig. Die statistischen Methoden für extreme Ereignisse sind noch immer nicht so weit entwickelt, dass sie für alle Fälle zuverlässig arbeiten. Für die deterministische Modellierung fehlen uns häufig noch ganz grundlegende Kenntnisse: Viele der Prozess-Wechselwirkungen, beispielsweise der Bruchmechanik und der Wellenanregung bei Tsunamibeben, sind noch nicht verstanden und können auch noch nicht mathematisch in die Modellbildung integriert werden. Darüber hinaus fehlen häufig Daten von Extremereignissen, da sie extrem selten auftreten.

Read More Modellierung von Extremereignissen